PROBOLINGGO-PANTURA7.com, Perayaan Imlek di Kota Probolinggo merupakan tradisi yang hingga kini terpelihara. Namun siapa sangka, Kota Probolinggo sangat kental dengan budaya Tionghoa. Seperti apa wajah Pecinan di Kota Bayuangga?
Berdasar data yang dimiliki PANTURA7.com, jauh sebelum Indonesia Merdeka pada 17 Agustus 1945, warga Tionghoa sudah masuk ke Kota Probolinggo melalui jalur perdagangan.
Akses distribusi untuk perdagangan rempah-rempah dulu tersebar di sepanjang jalur Sungai Banger. Tetapi Sungai Banger “tempo doloe” lebar dan dalam sehingga kapal dan perahu leluasi melintasi sungai yang membelah tengah kota. Tidak seperti sekarang, Sungai Banger dangkal dan sempit sehingga tidak bisa dilewati kapal dan perahu.
Ketika VOC masuk ke Probolinggo, tepatnya pada masa Daendels (1808-1811) Probolinggo pernah dijual sebagai tanah partikelir pada seorang pengusaha Tionghoa bernama Kapiten Han Tik Ko atau Babah Tumenggung Probolinggo dari Pasuruan.
Namun sayang, karena pemberontakan rakyat pada tahun 1813, membuat Han Tik Ko terbunuh hingga tanah kembali pada VOC. Sementara itu Probolinggo dalam bahasa Tiongkok disebut ‘Pangyue’ yang berbunyi seperti Banger.
Hal itu dibuktikan dengan keberadaan bangunan Tionghoa termasuk klenteng yang bernama Liong Tjwan Bio. Sekarang klenteng itu bernama Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD) atau Klenteng Sumber Naga.
Beberapa bangunan Tionghoa tersebar di beberapa kawasan, di antaranya Jl. dr Soetomo yang merupakan kawasan perdagangan. Di Jl. WR.Supratman , Jl. Brigjen Katamso, Jl. A. Yani dan Jl. Letjen Suprapto merupakan kawasan hunian etnis Tionghoa.
Beberapa rumah di kawasan tersebut dulunya mengelilingi Sungai Banger. Beberapa rumah itu hingga kini nasih terpelihara dengan ciri khas arsitektur Tiongkok. Yakni, dengan gevel atap melengkung meski kini beberapa telah mengalami akulturasi budaya baik Eropa maupun budaya Jawa.
Dengan jumlah sekitar 1.200 jiwa orang Tionghoa, bentuk arsitektur rumah warga Tionghoa di Kota Probolinggo terdiri dari tiga tipe.
Pertama, tipe rumah dengan wajah bangunan simetris. Memiliki tiga pintu dan tidak banyak menunjukkan langgam desain kolonial pada struktur bangunannya. Contoh rumah tipe ini adalah rumah-rumah di sepanjang Jalan Brigjen Katamso.
Kedua, wajah bangunannya bergaya Indisch Empire. Lebih banyak menunjukkan langgam desain Eropa, diadaptasikan dengan iklim lokal, dan memiliki sebuah ruang kantor di teras depan yang luas.
Contoh rumah tipe kedua ini adalah rumah-rumah di Jalan dr Soetomo, Letjen Suprapto dan Jl. A.Yani.
Ketiga, wajah bangunan menunjukkan ciri-ciri desain Eropa modern. Tapi tidak memiliki teras atau serambi terbuka di luar, meskipun terdapat kantor di bagian depan. Tipe ketiga ini bersifat sangat tertutup dari luar, lain dengan tipe kedua.
Beberapa kawasan tersebut hingga kini masih terpelihara dengan baik. Hanya saja beberapa tampilan luar sudah mengalami perubahan meski tidak secara signifikan. Namun perayaan Imlek pada 2019 atau 2570 masih secara rutin diperingati. (*) (Dari berbagai sumber)
Penulis: Rahmad Soleh
Editor: Ikhsan Mahmudi
Tinggalkan Balasan