PROBOLINGGO-PANTURA7.com, Hingga saat ini pendidikan inklusif kepada anak yang berkebutuhan khusus di Kabupaten Probolinggo belum maksimal.
Pendidikan inklusif merupakan salah satu cara upaya pemerintah dalam memberikan hak belajar secara penuh bagi seluruh warga negara yang dinyatakan difabel. Dengan pendidikan inklusif, tidak ada perbedaan antara anak normal dan berkebutuhan khusus dalam mengenyam pendidikan.
Pendidikan inklusif yang tidak maksimal ini disampaikan Ketua Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) Kabupaten Probolinggo, Arizky Perdana Kusuma. Menurutnya, implementasi pendidikan inklusif dari pemerintah daerah (Pemda) setempat belum sepenuhnya dirasakan.
“Dengan adanya undang-undang disabilitas nomor 8 tahun 2016, memang pemerintah pusat sudah memperhatikan kaum difabel yang sebelumnya dianggap minoritas. Hak-haknya memang sudah mulai terangkum, tapi masih belum dirasakan secara maksimal,” kata Arizky, Senin (2/12).
Yang dimaksud belum dirasakan sepenuhnya di Kabupaten Probolinggo, lanjut Arizky, ialah dari segi pendidikan. Pasalnya di Kabupaten Probolinggo masih ada beberapa sekolah yang menolak jika ada anak berkebutuhan khusus mendaftar.
“Kaum difabel seharusnya juga mendapatkan pendidikan yang layak dan tidak harus dibedakan dengan anak-anak normal. Karena mereka juga membutuhkan pendidikan layak, seperti anak-anak lainnya,” tutur Arizky.
Dalam hal ini, ia berharap, di Kabupaten Probolinggo tidak ada penolakan-penolakan terhadap anak yang berkebutuhan khusus. Karena menurutnya, kaum difabel juga warga Indonesia yang harus mendapatkan pendidikan yang layak.
“Kalau ada sekolah yang menolak anak berkebutuhan khusus dengan alasan tidak siap dengan untuk memfasilitasi atau belum siap dengan cara untuk memberikan pelajaran terhadap difabel, itu tidak bisa dijadikan alasan,” kecamnya.
Jika memang tidak ada kesiapan apapun, sambungnya, pihak sekolah juga bisa memberi pelajaran secara perlahan-lahan. Karena kaum difabel juga ingin merasakan mengenyam bangku pendidikan di sekolah regular.
“Kaum difabel tidak harus selalu sekolah di SLB (Sekolah Luar Biasa, red). Guru di sekolah regular juga bisa untuk sharing-sharing dengan guru di SLB ataupun juga ke dinas tekait,” tutupnya. (*)
Editor : Efendi Muhammad
Publisher : A. Zainullah FT