MAYANGAN-PANTURA7.com. Mencari sudut terlindung teduh dari terik mentari. Menatap jalan lengang di depan yang tak ada harapan. Kakinya mengayuh angin Naluri kebiasaan terlalu bodoh untuk mengerti segala macam aturan yang dia tahu dan dirasakan hilang pencaharian
Itulah sepengal lirik lagu “Opera Tukang Becak” yang dinyanyikan Ebiet G. Ade yang menggambarkan perjuangan tukang becak dalam mencari rezeki. Capeknya mengayuh becak dan menunggu penumpang adalah cerita tersendiri bagi mereka.
Tak butuh sebuah ranjang mahal atau kasur yang empuk, bantalan kursi becak sudah cukup untuk sejenak beristirahat, menebus kerasnya hari-hari mereka. Inilah potret para tukang becak yang sedang istirahat.
Pemandangan di Jalan Panglima Sudirman,tepatnya depan Kantor Walikota Probolinggo, berbeda dari hari biasa. Lalu lalang kendaraan tak lagi ramai.
Pedestrian yang biasanya sesak wisatawan, kini sepi. Toko-toko tutup, tukang becak lebih banyak menganggur, sedang angkot nyaris tak ada. Itu semua karena corona.
Sejumlah becak parkir berderet. Kursi penumpang tak diduduki penumpang atapun wisatawan diganti sang empu yang memilih tidur siang di atasnya. Sadel kosong bagai tak bertuan.
Pemandangan ini menurut Totok (52) sudah mulai tampak sejak beberapa pekan terakhir. Dia memilih bertahan, baginya mencari nafkah tetap harus dilakukan. Totok bukan sedang menentang Surat Edaran (SE) Walikota Probolinggo. Ia mengaku, hanya ingin bertahan.
“Sudah 10 tahun narik becak, sekaran ini yang terparah sepinya,” kata warga Kademangan ini, Sabtu (25/4/2020).
Meski begitu dia tetap rela menempuh perjalanan sekitar 25 menit menuju jantung Kota Probolinggo. Dia tetap setia menanti penumpang meski faktanya tidak ada satu pun penumpang hari ini.
“Ya ini kalau saya tukang becak asli Probolinggo, jadi dari rumah ke sini cari rezeki. Kalau di rumah saja kasihan anak cucu. Ini modal nekat, semangat, jaga kesehatannya sama penyakit Allah sendiri yang tahu. Saya tetap kerja,” katanya.
Totok mengaku, harapannya tinggal satu, wabah ini segera berakhir. Tak mungkin baginya yang bekerja keliling kota untuk mencari nafkah, hanya berdiam diri di rumah.
“Kalau tidur di rumah, uang 5 ribu enggak ada. Sedang becak tidak mungkin dikerjakan dari rumah. Saya ikut prihatin mudah-mudahan segera berakhir,” harapnya.
Hal tak jauh berbeda dirasakan Narto (56). Tukang becak ini juga merasa kepayahan dengan wabah corona. Wisatawan yang tak lagi datang bikin dia bingung siapa yang harus diantarkan.
“Semua lumpuh karena corona ini ya sudah semua ditutup (toko-toko),” ujarnya.
Hari ini pun sepi, dia belum mendapat penumpang. Padahal setengah hari saja pada hari biasa setidaknya dia sudah bisa narik tiga kali. (*)
Editor: Ikhsan Mahmudi
Publisher: Muhamad Rizal