KANIGARAN-PANTURA7.com, Sudah 10 Lestari Rahayu (37) warga Kelurahan Kebonsari Kulon, Kecamatan Kanigaran, Kota Probolinggo konsisten menjalankan profesi sebagai guru SMP di daerah pegunungan. Tepatnya di sekolah satu atap, SMPN 5 Sumber di Desa Ledokombo, Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo.
Dengan jarak tempuh sekitar 45 kilometer dari rumahmya, Bu Yayuk, panggilan akrab Lestari Rahayu menempuhnya dengan menumpang mobil pikap sayur yang akan menuju ke daerah Sumber. Ia sengaja “nunut” pikap dari Pasar Bantaran hingga ke lokasi tempatnya mengajar di Ledokombo. Pulangnya pun ia kembali “nggandol” pikap untuk sampai rumahnya di Kota Probolinggo.
Sedangkan dari rumahnya ke Pasar Bantaran, ia tempuh dengan dibonceng teman atau anggota keluarganya. Aktifitas ini dilakukan Bu Yayuk sejak 2010 silam hingga kini. Ia mengaku, tidak pernah mengeluh capek, karena merasa senang saat bertemu muridnya di sekolah.
Hal ini dilakukan Bu Yayuk lantaran dirinya tidak bisa mengendarai sepeda motor sendiri. Sehingga ia memberanikan diri setiap hari pergi pulang (PP) “nunut” pikap sayur.
“Meskipun saya tidak kenal dengan supir yang mobilnya saya nunuti, saat komunikasi saya selalu menggunakan bahasa Jawa halus, akhirnya orang sungkan dan pasti membantu,” katanya saat ditemui di rumahnya, Jalan Pahlawan Gang Kenongo, Kota Probolinggo, Rabu (25/11/2020).
Aktivitas belajar mengajarnya dilaksanakan mulai jam 07.30 WIB hingga jam 13.00 WIB, sehingga Bu Yayuk harus berangkat dari kota sekitar pukul 05.30 pagi. Namun saat ujian ia berangkat sekitar pukul 03.30 WIB dini hari. Hal ini dilakukannya karena harus mempersiapkan soal-soal ujian di sekolah.
Sebenarnya, kata Bu Yayuk, pada awal menjalani profesi ini banyak pertentangan terhadap dirinya. Terutama dari kakak kandungnya yang sempat melarang karena jauh, apalagi perempuan dan tidak bisa naik sepeda motor sendiri.
“Saya jawab susah seneng ada di saya, yang penting saya minta doa ke ibu supaya selamat sampai di sana,” ucapnya.
Alumnus Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Panca Marga (UPM) Kabupaten Probolinggo ini mengatakan, dirinya menjadi guru di sekolah yang terpencil lantaran sulitnya mencari pekerjaan guru di kota. Ia sempat ditolak saat daftar guru di kota sehingga ia mendaftar di tempat terpencil di Kabupaten Probolinggo dan langsung diterima.
Saat baru diterima di SMPN 5 Sumber pada 2010, muridnya hanya sekitar 20 orang karena saat itu sekolah tersebut baru didirikan, ditambah tingkat pendidikan masyarakat di sana rendah.
“Masyarakat sana berpikiran ngapain sekolah, kalau tanpa sekolah juga bisa kaya,” imbuh Bu Yayuk.
Sehingga pihak sekolah tak henti-hentinya melakukan inovasi untuk mengajak masyarakat sekitar mendorong anak-anaknya untuk berpendidikan. Akhirnya saat ini sudah mulai banyak yang mau bersekolah dan peserta didiknya sudah mencapai 60 siswa.
Perjuangan Bu Yayuk tidak sampai di situ. Ia juga rela tidak digaji selama setahun saat awal-awal ia mengajar. Baru pada tahun 2011 pihaknya sudah mulai menerima gaji sebesar Rp 150.000 per bulan hingga tahun 2017.
“Alhamdulillah pada tahun 2017 saya sudah diangkat sebagai GTT melalui SK Bupati Probolinggo sehingga gaji saya mulai naik,” tuturnya.
Saat pandemi ini, kata Bu Yayuk, dirinya masih tetap mengajar seminggu dua kali. Hal ini karena di daerah tempat ia mengajar kesulitan sinyal HP, sehingga pihak sekolah tetap mengadakan pertemuan langsung secara terbatas dan mengurangi jam belajar.
“Kita tetap jalankan belajar luring, karena di desa tempat saya mengajar sangat kesulitan sinyal HP,” pungkasnya. (*)
Editor: Ikhsan Mahmudi
Publisher: Rizal Wahyudi