*Pengirim : Mujibur Rahman
Apakah kita kita masih asing dengan istilah Politik Dinasti? Seperti apakah Politik Dinasti tersebut? Lalu apa dampaknya bagi Demokrasi kita? Politik Dinasti adalah kepemimpinan atau kekuasaan yang diciptakan dalam suatu lingkaran kekeluargaan, kekerabatan, atau hubungan darah yang terjadi secara turun temurun.
Di Indonesia sendiri kita telah mengenal politik dinasti sejak bangsa ini baru merdeka, yaitu pada masa kepemimpinan Presiden pertama, Soekarno. Soekarno menjabat sebagai presiden pertama di Republik ini. Lalu putri Soekarno, Megawati Soekarno Putri yang menjabat sebagai presiden kelima. Tidak selesai di situ, masih ada Puan Maharani yang saat ini menjabat sebagai ketua DPR dan Puti Guntur Soekarno, keponakan Megawati, yang menjabat sebagai anggota DPR. Selain Soekarno, ada pula Dinasti Soeharto yang dikenal publik dengan keluarga cendananya dari sekitar tahun 1998.
Untuk memahami lebih utuh tentang Politik Dinasti, tentu kita harus menengok lebih jauh sejarahnya. Politik Dinasti telah dikenal sejak masa mesir kuno hingga tiongkok kuno. 3050 SM dipercaya sebagai awal mula munculnya politik dinasti, yaitu pada masa mesir kuno, sementara dinasti paling tua di tiongkok adalah dinasti Xia yang berkuasa dari tahun 2070 SM sampai 1600 SM. Lalu, dinasti paling tua yang berkuasa hingga saat ini adalah Imperial House of Japan atau keluarga kekaisaran Jepang yang telah berkuasa sejak tahun 660 SM.
Pada masa Kerajaan-kerajaan di Nusantara kita juga dapat mengetahui Politik Dinasti dari kekuasaan Syailendra yang menguasai Kerajaan Sriwijaya di Sumateran hingga Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah. Sejarah telah mencatat hampir semua dari Kerjaan Hindu, Budha dan Islam telah mewarnai Politik Dinasti dari masa ke masa.
Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI) melaporkan bahwa setidaknya terdapat 48 anggota legislatif yang memiliki hubungan kekerabatan, terhitung sejak periode 2019-2024.
Politik dinasti juga menjamur di tingkat daerah. Sebut saja Dinasti Limpo di Sulawesi Selatan, Dinasti Narang di Kalimantan Tengah, Dinasti Sjahroeddin di Lampung, Dinasti Chasan Sochib di Banten, hingga Dinasti Fuad di Bangkalan.
Meskipun Indonesia menganut asas demokrasi, politik dinasti masih tetap bercokol hingga saat ini. Yakni kekuasaan kelompok elit berbasis hubungan darah atau kekerabatan. Hal ini pula yang menjadi sorotan publik pada Jokowi dan putranya, Gibran, yang menang di pilkada Solo serta menantunya, Bobby Nasution, yang juga menang di pilkada Medan baru-baru ini.
Namun, jika kita mengamini prinsip Equality Before The Law, maka politik dinasti masih terbilang sah, sebab setiap warga negara memiliki hak yang sama di muka hukum, tak terkecuali bagi mereka yang masih memiliki hubungan kekerabatan. Hal ini memang menjadi dilema bagi negara yang berasas demokrasi, sebab bagaimanapun seperti yang dikatakan John Emerich Edward Dalberg-Acton, “power tends to corrupt, corrupt power corrupts absolutely”. Meskipun korupsi tidak memandang politik dinasti atau tidak, dan tentu banyak penyebab orang melakukan tindak pidana korupsi, namun mereka yang berada dalam kekuasaan dinasti akan lebih rentan terhadap hal tersebut.
Praktik politik dinasti memang telah berlangsung lama. Kementerian Dalam Negeri dan LIPI melaporkan, setidaknya terdapat 65 daerah di 15 Provinsi di Indonesia memiliki Dinasti Politik, tercatat hingga tahun 2016 sejak diberlakukannya otonomi daerah.
Lalu bagaimana sistem Politik Dinasti ini dijalankan? Terdapat tiga cara yang umum dilakukan, pertama, regenerasi, yakni satu keluarga memimpin satu daerah tanpa jeda, contohnya, di Baru, Tanah Toraja, Takalar, Jambi, Pagar Alam, Bekasi, Indramayu, Cimahi, Kendal, Klaten, Probolinggo, Bangkalan, dan Kalimantan Timur. Kedua, model lintas kamar dengan cabang kekuasaan, misalnya, kakak jadi Bupati, adiknya jadi ketua DPRD. Ketiga, model lintas daerah, seperti di Lampung. Sementara di Banten dan Sulawesi Selatan menerapkan ketiga model tersebut sekaligus.
Salah satu penyebab adanya politik dinasti di era modern adalah sistem Feodalisme yang masih hidup di Era Demokrasi. Donal Fariz, Aktivis Anti Korupsi ICW, mengatakan, dinasti politik telah lebih dulu menguasai Dinasti di internal partai politik. Maka seluruh pengambilan keputusan terhadap siapa yang mau diusung itu telah dikontrol oleh orang-orang yang ada di kelompok atau jaringan dalam dinasti politik itu sendiri. Kata kuncinya adalah Dinasti Politik tumbuh saat pragmatisme politik juga mewabah.
Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW) terdapat setidaknya 6 Kepala Daerah yang terlibat kasus korupsi. Selain Ratu Atut Chosiah yang terlibat kasus korupsi di Pilkada Lebak dan ALKES, juga terjadi kasus korupsi Atty Suharti di proyek pasar atas, Cimahi, Sri Suharti dalam kasus suap jual beli jabatan, kasus suap proyek BANSOS oleh Yan Anton Ferdian, kasus pembebasan lahan Loak Hulu yang dilakukan Syaukani Hasan Rais, serta kasus korupsi dan pencucian uang, Fuad Amin. Yang terbaru, adalah kasus Zumi Zola, putra mantan Gubernur Jambi, Zulkifli Nurdin yang diduga menerima suap proyek hingga 6 Miliyar Rupiah.
Selama politik kita masih oligopoly, maka mereka yang berkontestasi di panggung politik hanya berputar pada lingkaran orang-orang yang memiliki modal besar dan mereka yang memiliki hubungan kekerabatan atau pertemanan dengan orang-orang yang memiliki pengaruh besar dalam politik dinasti tersebut.
Ketika demokratisasi di dalam tubuh partai tidak fair, maka pemimpin yang terpilih dari tingkat pusat hingga daerah bukanlah berasal dari proses demokratis, melainkan berasal dari jual beli jabatan, kolusi dan nepotisme (dinasti politik) itu sendiri.
Jika sudah demikian, pertanyaannya, bagaimanakah caranya untuk mengakhiri drama Politik Dinasti ini hingga ke akar-akarnya? Pertama, budaya politik yang oligopoly harus didorong menjadi budaya politik yang kompetitif, fair, dan transparan. Mengutamakan kualitas calon pemimpin bukan kuantitasnya, apalagi karena faktor finansial, keturunan, kekeluargaan dan sejenisnya. Yang kedua, penyadaran dan kesadaran masyarakat terhadap politik transaksional yang perlu diedukasi dan harus benar-benar dilawan.
Kesimpulannya, Politik Dinasti akan terus subur dengan segala risikonya jika kita dan pemerintah tidak mau belajar pada kesalahan-kesalahan sebelumnya. (**)
*Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta