“Kebenciannya sudah sampai ubun-ubun, menganggap bahwa golongannya lah yang paling benar diantara golongan lain,”
Oleh: Etik Mahmudatul Himma, SH.
Sebagian besar dari kita telah beragama islam sejak lahir, ibu kita islam, ayah kita islam, begitu juga leluhur kita yang telah lebih dulu memeluk islam atau bisa dikatakan “islam bawaan lahir”.
Tidak ada yang keliru dari konteks ini, kita justru beryukur karna lahir dengan penyambutan secara islam, kita di adzani ditelinga kanannya, kita mendengar pengucapan kata pertama berupa kata Allah. Islam bawaan dari lahir ini juga berkemungkinan berdampak pada pola pemikiran kita, dimana kita merasa cukup dengan pengetahuan islam yang sudah kita terima, sehingga kita tidak begitu tertarik untuk memperlajari islam secara luas dan menyeluruh.
Keterbatasan pengetahuan ini dalam konteks yang lebih jauh lagi bisa berakibat pada pola pemikiran yang dangkal yakni fanatisme yang berlebihan, dimana keterbatasan ini menjadikan seseorang membela apa yang dipercayai nya secara mati-matian, menganggap dirinya dan golongannya yang paling benar.
Sehingga tidak mengakui adanya perbedaan pendapat dari golongan lain, dalam Al –Qur’an disebutkan.
“Jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rosul Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya” (AN NISA’:59)
Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa perselisihan itu sudah pasti ada, tetapi harus dikembalikan lagi kepada Al-Qur’an. Golongan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah golongan yang masih berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadist, mengingat di Indonesia terdapat banyak sekali perbedaan golongan dan ormas.
Golongan yang dimaksud jelas bukan golongan yang bertentangan dengan islam. golongan ini menjadi tema menarik bagi saya karna saya melihat, intensitas perbedaan dari masing-masing golongan di Indonesia itu masih tinggi, baik dalam konteks mikro ataupun makro.
Persinggungan ini bukan tanpa alasan, tapi menurut saya hanya karna kurang adanya komunikasi sosial saja.
Interaksi dan komunikasi sosial ini sangat mempengaruhi terhadap pola pemikiran dan tindak perilaku seseorang, melalui interaksi dan komunikasi, seseorang bisa saling bertukar fikiran dan saling bertukar informasi.
Terkadang ada golongan yang enggan melakukan interaksi dengan golongan lain, sehingga tidak memahami maksud dan tujuan dari golongan lain tersebut.
Bahkan saking fanatik nya seseorang terhadap golongannya, dia membenci golongan yang lain dengan kebencian yang tidak berdasarkan kacamata Al-Qur’an, artinya kebenciannya sudah sampai ubun-ubun, seakan-akan menganggap bahwa golongannya lah yang paling benar diantara golongan lain.
Padahal kita masih dalam wadah dan konteks yang sama yakni Islam. jika kita menemukan berbagai perbedaan, setidaknya kita menemukan satu kesamaan yakni sama-sama berpegang teguh pada Al-Qur’an.
Melalui perbedaan ini kita bisa melakukan komunikasi dan diskusi dimana letak perbedaan kita, dan harus bagaimana kita saling bersikap dan menghargai satu sama lain.
“dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah sampai pada mereka keterangan yang jelas. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat adzab yang berat” (QS Ali Imron:105)
Di era digital ini, informasi dapat kita terima dengan mudah dan cepat, tapi di era digital ini pula informasi dapat diputar balikkan. Adanya akses internet juga gadget bisa dijadikan alat untuk menyebar luaskan kebencian, mengukuhkan golongan sendiri tapi mengabaikan golongan yang lain.
Di era digital ini, diharapkan agar masyarakat Islam menjadi masayarakat yang lebih cerdas dan lebih terbuka lagi, agar bisa berfikir dan memahami mana informasi yang benar actual dan akurat, dan mana informasi yang dibuat-buat.
*Sekretaris Umum Korps PMII Puteri Jawa Timur
Editor: H. Ikhsan Mahmudi
Publisher: Moch. Rochim