GENDING,- Kebutuhan keluarga tercukupi, biaya sekolah anak-anak terjamin serta waktu bersama keluarga terpenuhi. Kondisi ini dirasakan oleh Abdurrohim (38), pebudidaya udang vannamei di Desa Pajurangan, Kecamatan Gending, Kabupaten Probolinggo.
Setahun sebelumnya pria yang karib disapa Durrahim ini hanyalah seorang karyawan lepas pada sebuah tambak udang intensif. Dirinya pun tak luput dari PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) akibat badai Covid-19 yang juga melanda Kabupaten Probolinggo .
Karena kondisinya tersebut, Rohim sebagai tulang punggung keluarga harus cepat-cepat memutar otaknya. Terlebih kedua anaknya yang sedang bersekolah membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Singkat cerita, dalam kekalutannya itu ia mendengar kabar bahwa ada pelatihan budidaya udang vannamei air laut buatan dari Dinas Perikanan (Diskan) Kabupaten Probolinggo. Tanpa pikir panjang, ia pun mengajak tiga rekan senasibnya untuk mengikuti pelatihan tersebut.
Awalnya ia tak yakin, udang vannamei yang biasanya hidup pada tambak luas, full kincir air dan lokasinya harus sedekat mungkin dengan bibir pantai itu bisa hidup dan bertumbuh kembang di media terpal bundar dan sempit. Apalagi hanya dengN mengandalkan air laut buatan hasil filterisasi.
Namun setelah melihat budidaya serupa di UPT Pengembangan Budidaya Air Tawar di Desa Pabean, Kecamatan Dringu, tempatnya mengikuti pelatihan, ia seolah mendapat pencerahan. Ia dan dua rekannya pun mempraktekkan ilmu yang baru didapatnya itu.
Karena halaman samping rumahnya masih cukup luas, untuk itu Durrohim lebih memilih mengaplikasikan media berupa tambak beralaskan terpal berukuran mini seluas 7×6 meter dengan kedalaman 0,5 meter untuk enam ribu ekor benur udang vannamei.
Sebelumnya ia juga telah menyiapkan perlengkapan wajib lainnya, diantaranya pompa air listrik untuk menjalankan sistem filterisasi, seperangkat aerator, air tua garam (bittern) dan kebutuhan pakan untuk satu siklus (65-70 hari) serta bakteri fermentasi pengurai omonia hasil buatannya sendiri.
“Karena modalnya cukup terjangkau, saat itu kami langsung saja memulai praktek. Modal awal untuk satu petak tambak mini ini tidak lebih dari 1,3 juta saja, apalagi para petugas dari Dinas Perikanan juga mendampingi kita secara berkala sampai masa panen,” terang Durrohim.
Durrohim menambahkan, kunci utama yang harus dikuasai adalah bagaimana mengoptimalkan kerja pompa air dan aeratornya agar kualitas air tetap stabil, terfilterisasi dengan baik dan tercukupi kebutuhan oksigen dalam air.
Selain itu agar kondisi udang selalu prima, salinitas air laut buatannya itu harus terus dijaga agar tetap setara dengan salinitas air laut 15 ppm. Karena standar hidup udang vannamei adalah 15-25 ppm, oleh karenanya stok garam krosok dan bittern harus selalu tersedia.
Alhasil, usaha Durrohim berbuah gemilang, panen perdananya pada akhir tahun 2020 itu jauh melebihi target. Karena minimnya tingkat kematian bibit, tambak mini itu pun mampu menghasilkan udang vannamei seberat total 75 kilogram dengan rata-rata timbang antara 70-80 ekor per kilogramnya.
“Dengan hasil tersebut hasil penjualan kotor mencapai 2,6 juta. Artinya keuntungan saya dari modal awal adalah 100 persen. Harga standar udang vannamei ukuran konsumsi saat ini adalah 35 ribu per kilogramnya,” ulasnya.
Keberhasilan perdananya itu lantas tidak membuatnya puas, hasil penjualan itu dimanfaatkan untuk pengembangan usaha. Halaman belakang rumahnya pun kini telah disulapnya menjadi mesin penghasil uang berupa tiga petak tambak mini.
“Alhamdulillah hasilnya sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan satu orang pekerja saya,” ungkapnya seraya tersenyum bangga.
Teknik budidaya ini, imhuh Durrohim, sangat sederhana, mudah diterapkan dan efektif dan menguntungkan. “Silahkan datang kemari, kami selalu siap membagi ilmu manakala ada yang berkeinginan memulai budidaya udang vannamei seperti kami,” janjinya. (*)
Editor: Efendi Muhammad
Publisher: Albafillah