Pada pemilu 2024, apakah akan ada terobosan baru yang memungkinkan penghitungan dan rekapitulasi bisa lebih efektif dan efisien?
Penulis: Abdur Rohim Mawardi*
______________________________________________________________
Sukses penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 merupakan tolok ukur dari penyelenggaraan demokrasi secara serentak di Indonesia.
Setiap pemilih yang diperkirakan mencapai 195 juta pemilih, menyebar secara merata di lebih dari 800 ribu Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Dalam sekali masuk bilik suara, setiap pemilih mencoblos 5 kertas suara dalam satu waktu. Yakni memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Kala itu, Pemilu 2019 mencatatkan tingkat partisipasi pemilih yang cukup tinggi. Yakni 81,97 % untuk pemilihan presiden (pilpres), dan 8169 % untuk pemilihan legislatif (pileg). Artinya, tingkat komitmen masyarakat terhadap sistem demokrasi cukup tinggi.
Namun, Pemilu 2019 menyisakan catatan yang mau tak mau, harus disebut kelam. Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) yang menjadi garda terdepan penyelenggara pemilu memiliki beban kerja yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan Pemilu 2014.
Berdasar data resmi KPU, tercatat sebanyak 424 orang petugas KPPS meninggal dunia usai penyelenggaraan Pemilu. Juga terdapat 3.668 petugas KPPS mengalami sakit. Sementara dari data resmi Bawaslu, terdapat 92 anggota Panwaslu yang meninggal dunia, serta 2.268 petugas yang mengalami sakit. Kelelahan dan beban kerja yang tinggi menjadi pemicu banyaknya petugas pemilu yang meninggal dunia.
Pemilu 2019 menjadi pemilu perdana yang menerapkan pemilihan serentak. Ada 5 surat suara yang dipilih sekaligus dalam satu waktu oleh setiap pemilih.
Pada Pemilu 2024 mendatang, konsep pemilu serentak akan kembali dilakukan mengingat sukses pemilu 2019 lalu.
Penyelenggaraan secara serentak diharapkan dapat mengurangi praktik transaksi politik antara partai politik dengan individu yang bertujuan untuk perburuan kekuasaan.
Pemilu serentak juga diharapkan dapat meminimalkan politik uang yang muncul akibat biaya politik yang tinggi. Selain itu, pemilu serentak diharapkan dapat mengefisiensi pendanaan penyelenggaraan Pemilu.
Dari sekian aspek tersebut, ada beberapa hal yang belum berhasil dicapai. Misalnya soal politik uang.
Menurut Prof. Burhanuddin Muhtadi, ilmu politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, praktik politik uang sendiri menjadi fenomena ‘New Normal’ sejak Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi pada tahun 2008 yang menyatakan caleg yang terpilih berdasarkan suara terbanyak.
Keadaan tersebut mengubah strategi kampanye. Awalnya, kampanye yang dilakukan berbasis partai. Namun sejak keputusan MK dimaksud, strateginya berbasis caleg.
Caleg beramai-ramai mengejar suara personal tanpa terlalu mengandalkan nomor urut.
Berdasar survei Lembaga Survey Indonesia (LSI) dan Australian National University (ANU) pada Mei 2019, menunjukkan bahwa insiden politik uang terjadi secara masif dalam Pemilu 2019.
Dari total 192 juta Daftar Pemilih Tetap (DPT) sekitar 37,3 juta hingga 63,5 juta pemilih terpapar politik uang.
Di sisi lain, asumsi yang menyatakan bahwa pemilu serentak akan meminimalkan pembiayaan pemilu ternyata juga tidak terbukti.
Pada Pemilu 2019, alokasi anggaran negara sebesar Rp 24,8 triliun, naik 3% atau bertambah Rp 700 miliar dibanding biaya Pemilu 2014 yang mencapai Rp 24,1 triliun.
Bahkan jika dihitung sejak tahun 2017, total anggaran penyelenggaraan, di luar anggaran pendukung dan pengawasan, hingga tahun 2019 berjumlah Rp 25,59 triliun.
Menunggu Penyempurnaan
Tujuan ideal yang diinginkan dari pelaksanaan pemilu serentak akan kembali diburu pada tahun 2024 mendatang. Keserentakan pemilu kembali diharapkan meminimalkan politik uang berkurang dan anggaran pemilu menjadi lebih efisien. Namun ada hal lain yang ditunggu penyempurnaannya.
Pada Pemilu 2019, penghitungan dan rekapitulasi suara dinilai tidak efisien karena menguras waktu. Ditambah, fakta banyak petugas kelelahan.
Pada pemilu 2024, apakah akan ada terobosan baru yang memungkinkan penghitungan dan rekapitulasi bisa lebih efektif dan efisien?
Usai pemilu 2019 lalu, Ketua KPU RI kala itu, Arief Budiman sempat mengatakan bahwa ke depan, KPU akan mencoba penggunaan e-rekapitulasi.
Digitalisasi penghitungan dan rekapitulasi ini diklaim akan lebih memudahkan petugas sekaligus mempercepat rekapitulasi.
Secara umum, evaluasi terhadap penyelenggaraan pemilu 2019 mutlak menjadi unsur terpenting untuk suksesnya pemilu 2024.
Baik secara teknis, mutu, serta idealnya penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Pembelajaran untuk mengubah dan menjadikan pemilu di Indonesia lebih baik lagi mesti terus dilakukan.
*Penulis adalah Wakil Sekretaris PCNU Kota Kraksaan, Kabupaten Probolinggo.