Kraksaan,- Banjir rob merendam kawasan pesisir Kabupaten Probolinggo, sejak Senin (13/6/22) lalu. Meski merupakan bencana alam, namun musibah ini dinilai bisa diantisipasi.
Seperti yang dijelaskan oleh Abdul Haq (24), aktivis komunitas Front Nahdliyyin Untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) Kabupaten Probolinggo.
Menurutnya, banjir rob tidak hanya terjadi karena faktor cuaca ataupun alam, melainkan juga karena adanya campur tangan manusia yang mengakibatkan banjir akibat gelombang pasang itu terjadi.
“Banjir rob itu merupakan bencana ekologis. Kenapa? Sebab penyebab banjir rob karena kerusakan ekologi, seperti kenaikan air laut yang disebabkan krisis iklim. Krisis iklim salah satunya disebabkan oleh penggunaan energi kotor batu bara PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap),” kata Abdul Haq, Jum’at (17/6/22)
Selain itu, imbuhnya, juga disebabkan karena cepatnya laju amblesan tanah (land subsidence). Dua faktor penyebab terjadinya amblesan tanah, menurutnya, karena ekspolitasi air tanah dan beban infrastruktur bangunan.
“Kondisi itu semakin diperparah dengan pengkaplingan wilayah pesisir menjadi tambak udang dan perumahan-perumahan. banyak lahan konservasi mangrove yang ditebang dan dialihfungsikan,” paparnya.
“Banyak sekali tambak udang yang berdiri di atas sempadan pantai, padahal secara regulasi itu melanggar. Setidaknya ketiga penyebab itu terakumulasi menjadi satu,” ia menambahkan.
Abdul Haq menyebrlut, selama ini ketika terjadi banjir rob yang dimunculkan hanyalah naiknya air laut ke permukaan. Penyebabnya karena faktor alam atau cuaca, padahal hakikatnya perubahan cuaca juga buah campur tangan manusia.
“Padahal anomali cuaca juga karena ulah manusia yang terus-terusan membabat hutan dan narasi soal land subsidence atau penurunan muka tanah hampir tak pernah muncul. Justru yang selalu muncul adalah kenaikan air laut,” urainya.
Ia lantas menjabarkan data yang dikemukakan Heri Andreas, peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB) yang meneliti 112 kabupaten/kota pesisir pantura. Disebutkan bahwa penurunan tanah di Kabupaten Probolinggo angkanya 1-5 sentimeter (cm) per tahun, sedangkan kenaikan air laut 6 milimeter (mm) per tahun.
“Di Kalibuntu kemarin, saya mendapatkan pengakuan warga kalau rumahnya sudah ditimbun dan ditinggikan agar banjir tidak masuk. Ini menegaskan bahwa amblesan tanah itu nyata di Probolinggo,” Haq menegaskan.
Di sisi lain Ketua Umum Pengurus Cabang (PC) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Probolinggo Mohammad Zia Ulhaq menyebut, porsi diskusi masalah banjir dan bencana ekologi selama ini memang sempit.
“Pemerintah seperti tak mampu untuk melihat penyebabnya, selain disebabkan hujan, pendangkalan sungai, buang sampah sembarangan, atau tanggul jebol. Masyarakat miskin di bantaran sungai tak jarang juga menjadi kambing hitam,” kecam pemuda yang biasa panggil Yayak ini.
Curah hujan tinggi, dikatakan Yayak, jelas merupakan ancaman. Tetapi ancaman itu menjadi bencana jika daya dukung dan daya tampung alam terlampaui.
“Sederas apapun hujan, jika daya dukung lingkungan masih baik, hutan terjaga dari penebangan liar, Daerah Aliran Sungai (DAS) terkelola dengan baik tanpa alih fungsi, banjir besar pasti dapat dihindari,” pungkasnya.
Diketahui, sejumlah wilayah di pesisir Kabupaten Probolinggo terendam banjir selama 4 hari terakhir. Diantaranya Desa Penambangan, Kecamatan Pajarakan; Desa Kalibuntu, Kecamatan Kraksaan; dan Desa Pondokkelor, Kecamatan Paiton. (*)
Editor : Efendi Muhammad
Publisher : A. Zainullah FT