Probolinggo – Rekrutmen badan adhoc Penyelenggara Pemilu menjadi perbincangan banyak pihak, tak terkecuali dari organisasi kemasyarakatan (ormas). Pasalnya, banyak dari yang terpilih menjadi anggota badan adhoc berasal dari kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN), baik dari perangkat desa maupun dari tenaga pendidik. Padahal keduanya
mengharuskan yang bersangkutan untuk bekerja sepenuh waktu di dua pekerjaan yang berbeda.
Jauh sebelum anggota badan adhoc pemilu ini dilantik, Dewan Pengurus Cabang (DPC) Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) sudah mewanti-wanti agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Probolinggo untuk memperhatikan pemerataan tenaga kerja dalam rekrutmen badan adhoc ini. Hal ini selain untuk meningkatkan pemerataan perekonomian, juga untuk memaksimalkan profesionalitas pekerjaan.
Dan setelah badan adhoc dilantik, Selasa (24/1/2023) lalu, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikdaya) Kabupaten Probolinggo mulai melakukan pendataan terhadap ASN di lingkungannya yang terlibat dalam badan adhoc penyelenggaraan Pemilu ini. Hal ini mengingat sejumlah tenaga pendidik di lingkungan Disdikdaya yang masuk badan adhoc. Sisi lain Disdikdaya mengalami kekurangan tenaga pendidik.
Adanya dinamika guru dan sejumlah perangkat desa yang merangkap menjadi badan adhoc pemilu ini pun mendapat tanggapan serius dari Pimpinan Daerah Aisyiyah (PDA) Kabupaten Probolinggo. Dengan merangkap pekerjaan, hal ini dianggap sebagai bentuk ketidakprofesionalan pekerja dalam melakukan pekerjaannya.
Oleh sebab itu, para ASN baik dari unsur guru atau pun perangkat desa, diharapkan untuk mengundurkan diri.
“Yang menganggur ini banyak. Jadi menurut saya lebih baik mengundurkan diri untuk yang merangkap-merangkap pekerjaan ini. Karena kalau merangkap ini kan sudah pasti tidak profesional,” kata Ketua PDA, Masni Wilujeng, Kamis (26/1/2023).
Sementara itu, Ketua Pimpinan Daerah (PD) Muhammadiyah, Fauzi mengatakan, terkait persoalan ini, secara regulasi memang memperbolehkan. Namun ia menilai, regulasinya masih ambigu.
Di satu sisi secara undang-undang diperbolehkan, namun di sisi lainnya juga menuntut adanya kesediaan bekerja sepenuh waktu yang tentunya sulit dilakukan dengan dua beban pekerjaan yang berbeda.
“Sesuai Undang-undang saja. Tapi Undang-undangnya ambigu, satu sisi menuntut kerja maksimal, sisi lain diperbolehkan (merangkap pekerjaan, Red.),” ujarnya.
Tak hanya dari organisasi yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan tersebut. Dari Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Kraksaan juga memberikan respon senada. Sedari awal, PCNU sudah mendukung pernyataan DPC Sarbumusi yang mewanti-wanti KPU maupun Bawaslu untuk memperhatikan aspek pemerataan tenaga kerja dalam rekrutmen badan adhoc-nya.
“Termasuk langkah dari Disdikdaya ini kami sangat mendukung. Bagaimana bisa profesional jika ada dualisme pekerjaan. Jangan sampai keluhan dari wali murid yang khawatir terhadap pendidikan anaknya diabaikan, lantaran gurunya tidak maksimal karena merangkap perkejaan ini,” kata Ketua PCNU setempat H. Ahmad Muzammil.
Di sisi lain, Ketua DPC Sarbumusi, Babul Arifandhie mengatakan, sangat menyayangkan dengan banyaknya ASN dari tenaga pendidik maupun perangkat desa yang merangkap menjadi badan adhoc pemilu. Hal ini mencerminkan perekrutan badan adhoc tersebut kurang memperhatikan asas keadilan dan kebutuhan.
“Kami sejak awal sudah me-warning. Bahwasanya rekrutmen badan adhoc jangan sampai tumpang tindih pekerjaan. KPU maupun Bawaslu sebaiknya jangan arogan dalam rekrutmen ini, dengan tidak memperhatikan aspirasi-aspirasi masyarakat yang ada, termasuk masukan untuk anggota badan adhoc agar tidak merangkap jabatan,” ujarnya.
Tak terkecuali Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Probolinggo, Yasin turut memberikan respon. Ia menilai perlu ada pemahaman bersama antara KPU, Bawaslu, dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) setempat dalam memahami pengertian bekerja sepenuh waktu yang dibutuhkan dalam dua pekerjaan yang berbeda.
“Perlu pemahaman bersama antara kedua belah pihak. Perlu dicari jalan tengahnya, jangan sampai ada yang dirugikan, termasuk anak didik,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua KPU, Lukman Hakim mengatakan, secara regulasi memang tidak menjadi soal jika ada guru ataupun perangkat desa yang merangkap menjadi badan adhoc. Terlebih, ia menilai kepercayaan masyarakat terhadap guru memang tinggi.
Lukman melanjutkan, dalam regulasinya, ASN memang diperbolehkan menjadi badan adhoc. Pasalnya, di badan adhoc, ASN tidak mendapatkan gaji sepeserpun, melainkan hanya sekadar honor.
“Kalau sama-sama gaji itu kan yang tidak boleh. Tapi kan di badan adhoc ini istilahnya honor atau uang kehormatan, jadi beda dengan gaji,” paparnya.
Dan dengan rangkap pekerjaan ini, pihaknya pun sudah mencari win-win solution. Nantinya, kegiatan di PPS tersebut dalam dilakukan di luar jam kerja mengajar bagi seorang guru yang menjadi badan adhoc KPU.
“Kalau agenda kerja KPU pasti ada undangan resmi. Kalau izin tanpa undangan resmi, berarti itu izinnya mengada-ngada,” katanya.(*)
Editor: Ikhsan Mahmudi
Publisher: Zainul Hasan R.