Lumajang,- Sejak awal tahun 2023, masyarakat dibuat kelimpungan akibat tingginya harga beras di pasaran. Namun ironisnya, harga gabah kering hasil panen petani justru anjlok, tak terkecuali di Kabupaten Lumajang.
Di kota pisang, curah hujan yang tinggi membuat harga Gabah Kering Panen (GKP) semakin anjlok. Kualitas gabah yang dihasilkan disebut-sebut dibawah standar. Sebab curah hujan tinggi mengakibatkan kadar air dan hampa kotoran gabah naik.
Selain faktor cuaca, penurunan harga gabah juga disebabkan oleh meluasnya area panen serta pemberlakuan harga batas atas dan bawah gabah dan beras yang ditetapkan pemerintah.
Ketua Dewan Pakar DPC HKTI Kabupaten Lumajang, Iskhak Subagio mengatakan, untuk menjamin kepastian harga gabah yang dijual petani, ada surat edaran Kepala Badan Pangan Nasional nomor 47/TS.03.03/K/02/2023 Tanggal 20 Februari 2023.
Dalam surat tersebut, berisi tentang batas bawah harga GKP sebesar Rp4,2 ribu dan batas atas GPK sebesar Rp4,55 ribu ditingkat petani, mengacu pada Peraturan Menteri perdagangan Republik Indonesia nomor 24 tahun 2020.
Menurut Iskhak, SE Kepala Badan Pangan Nasional (SKBPN), tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Sebab, kenyataan di lapangan, harga yang dipatok dalam SE SKBPN, justru tidak sesuai dengan harapan petani.
“Saat ini, petani menginginkan harga jual GKP di atas Rp5 ribu. Harga yang diminta petani bukan tanpa alasan, sebab angka yang diminta para petani dengan kondisi produktivitas lahan padi rata rata 4,5 sampai 5 ton per hektar membuat petani menuntut harga jual gabah yang tinggi,” kata Iskhak, Sabtu (11/3/2023).
Belum lagi, lanjut Iskhak, biaya pengeluaran petani dari mulai penyiapan lahan sampai masa panen tiba amat tinggi. Meskipun petani menggunakan pupuk bersubsidi.
Per Hektarnya, biaya yang dikeluarkan oleh petani sebesar Rp9 juta, ditambah biaya pasca panen sejumlah Rp25 juta per hektar. Alhasil, total biaya per hektarnya yang dihabiskan petani Rp11,5 juta.
“Jika kita anggap hasil produksi GKP per hektar Rp4,5 ribu dengan asumsi harga Rp4,2 ribu berarti sejumlah Rp18,9 juta jadi selisih hanya Rp7,4 juta. Jika angka tersebut dibagi empat bulan maka pendapatan petani sangat jauh dibandingkan dengan Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten Lumajang,” kecamnya.
Iskhak menambahkan, jika bicara investasi, harga per hektare sawah nilainya sudah Rp1 miliar. Jika uang tersebut ditabungkan ke bank maka potensi hasil yang didapat petani jauh diatas pendapatan diatas.
“Inilah yang memicu petani menjual sawahnya ke pihak pengembang. Tentu ini menjadi sebuah ironi di sebuah kabupaten yang 65 persen penduduknya adalah petani,” pungkasnya. (*)
Editor: Mohamad S
Publisher: Zainul Hasan R