Lumajang,- Toleransi beragama terawat secara turun temurun di pemukiman Hindu Kabupaten Lumajang, tepatnya di Desa Burno, Kecamatan Senduro.
Kebiasaan saling menjaga saat perayaan Nyepi sudah dilakukan antar pemeluk agama Islam dan Hindu sejak ratusan tahun lalu. Rasa tenggang rasa itu hingga kini masih terjaga rapi.
Toleransi itu terlihat saat ritual mengarak ogoh-ogoh dalam menyambut perayaan Nyepi, Selasa (21/3/23) malam. Puluhan remaja masjid dan Banser menjaga bahkan ada yang ikut rombongan pengarak ogoh-ogoh.
“Rutin setiap ada acara keagamaan kami, selalu keamanannya dari remaja masjid, dan beberapa dari pengaman seperti Banser ikut menjaga demi kelancaran acara pawai ogoh-ogoh,” kata Kepala Desa Burno, Sutondo.
Sebaliknya saat Hari Raya Idul Fitri, petugas keamanan banyak yang berasal dari umat Hindu. Mereka berperan aktif saat acara takbir keliling.
“Besok setelah Nyepi warga muslim juga berdatangan ke rumah kami saling berkunjung,” katanya menjelaskan.
Karena saling menjaga inilah, kata dia, setiap perayaan agama apapun di kampung lereng Semeru itu selalu damai dan berjalan lancar setiap diadakannya acara.
“Saat mengarak ogoh-ogoh tidak pernah namanya ada ribut, semua rukun. Toleransi yang kita jaga ini, agar tetap melkat dihati para anak muda kita ini” tegasnya.
Tradisi toleransi ini juga terjaga sampai lingkup keluarga. Tak hanya itu, toleransi yang sudah lama terbangun ini, sudah dilakukan secara turun-temurun.
“Saudara saya muslim, jadi untuk menghormati tetangga kami yang muslim juga lampu rumah tetap kami nyalakan,” ujarnya.
Hal yang sama juga berlaku di keluarga yang lain. Di kampung ini tidak jarang ada keluarga yang beda agama dalam satu rumah.
“Karena itulah sebagai toleransi kami lampu tetap menyala. Tapi bagi umat Hindu tetap melaksanakan puasa dan menyepi di kamar,” ungkap pria yang menjadi orang nomor satu di Desa Burno ini. (*)
Editor: Mohamad S
Publisher: Zainul Hasan R