Probolinggo,- Penerimaan siswa baru di sekolah-sekolah negeri baru saja selesai dilaksanakan, baik untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah (pertama dan atas ).
Namun penerimaan siswa baru yang dikenal dengan sebutan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) masih diwarnai masalah.
Meski metode PPDB selalu diperbaharui setiap tahun dengan harapan pengelolaan penerimaan peserta didik semakin baik dan transparan.
Kecurangan masih saja ditemukan dalam penerimaan peserta didik baru dan terus berulang setiap tahun.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan kasus PPDB yang muncul di berbagai daerah ini adalah masalah lapangan dan seharusnya dapat diselesaikan oleh masing-masing kepala daerah.
“Itu persoalannya bupati, persoalannya wali kota, persoalannya gubernur, jangan semuanya ke presiden,” kata Presiden Jokowi disela-sela kunjungan di Bengkulu, Kamis 20 Juli 2023.
Presiden memerintahkan kasus-kasus ini segera diselesaikan, agar tidak terjadi lagi hal-hal yang tidak diinginkan.
“Yang paling penting, diselesaikan baik-baik di lapangan, anak-anak kita harus diberikan ruang yang seluas-luasnya untuk memiliki pendidikan yang baik dan setinggi-tingginya,” jelasnya.
Keluhan orang tua murid dan masyarakat terkait PPDB tahun 2023 banyak ditemukan melalui protes langsung di media sosial maupun liputan media massa.
Keluhan terbanyak adalah menyangkut jalur zonasi, yaitu alokasi kuota peserta didik untuk warga berdomisili di sekitar sekolah.
Lembaga pendidikan Al Hassanah Foundation sangat menyesalkan persoalan PPDB yang sudah berlangsung beberapa tahun masih muncul di berbagai daerah.
“Ini akibat pihak sekolah sejak awal pelaksanaan jalur zonasi tidak terbuka dengan menyampaikan kuota yang ada maupun metode pengukurannya,” kata Najib Salim Attamimi, founder Al Hassanah Foundation, dalam siaran tertulisnya yang diterima pada Jum’at 21 Juli 2023.
Al Hassanah Foundation yang salah satu kegiatannya juga bergerak dibidang pendidikan mendukung pernyataan Presiden Jokowi, karena menyadari pentingnya pendidikan bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia generasi penerus.
Apalagi pemerintah sudah menjalankan program wajib belajar 9 tahun (SD dan SMP).
Sehingga semestinya ada jaminan semua peserta didik yang mempunyai akses (terutama jarak/domisili) ke sekolah-sekolah negeri mendapatkan bangku sekolah.
Terkecuali wilayah yang tidak memiliki sekolah negeri atau peserta didik memilih untuk menempuh jalur pendidikan non negeri (swasta).
Al Hassanah mengusulkan perbaikan penerimaan peserta didik baru dengan penggunaan teknologi melalui manajemen data kesiswaan.
Data kesiswaan ini dikumpulkan dengan menginput data murid dan domisilinya dari sekolah-sekolah sekitar area sekolah (misalnya data murid kelas 6 SD untuk SMP dan data murid kelas 9 untuk SMA).
Data ini selanjutnya dikalibrasi dengan data kependudukan (melalui sistem Administrasi Kependudukan/Adminduk) dan data murid ketika mendaftar (data faktual).
Dengan demikian kecil kemungkinan manipulasi KK (Kartu Keluarga) maupun keterangan lainnya.
Metode ini dapat menjamin siswa yang berhak melanjutkan ke sekolah lanjutan karena sudah diketahui bahkan sebelum pembukaan pendaftaran dimulai.
Pemerintah berkewajiban mensosialisasikan metode PPDB berbasis manajemen data ini kepada masyarakat. Sosialisasi dilakukan oleh petugas dan media khusus yang disiapkan dengan matang.
Cara ini berhasil dilakukan di berbagai negara, juga diaplikasikan oleh perusahaan-perusahaan teknologi ketika mereka me-launching sebuah produk baru, melalui program policy atau product knowledge.
“Yang berkewajiban menyebarkan ke masyarakat adalah pemerintah. Masyarakat jangan dibuat bingung akibat kebijakan yang belum siap,” jelas Najib.
Sikap menyalahkan masyarakat atau orang tua murid karena tidak paham dengan metode seleksi PPDB adalah sikap yang tidak bijak.
Metode PPDB berbasis manajemen data akan membuat penerimaan peserta didik lebih terintegrasi, mencegah metode tiba saat tiba soal (insidentil) atau pelayanan manual.
”Metode perencanaan ini akan terintegrasi dan efektif mengatur kesinambungan hak atas pendidikan,” jelas Najib.
Manajemen berkelanjutan di negara maju bahkan telah berkembang hingga mampu menggratiskan biaya pendidikan karena sangat efisien.
Ketidaktransparanan pelaksanaan penerimaan peserta didik selama ini, lanjut Najib, membuat spekulasi bermunculan.
“Jangan-jangan sengaja dipelihara untuk memberikan keuntungan pada segelintir orang atau penyelenggara pendidikan,” ungkap Najib.
Perilaku mengistimewakan atau mendiskriminasikan sejumlah peserta didik ini jelas melanggar konstitusi dan prinsip keadilan berpendidikan.
Mandat negara adalah mencerdaskan bangsa dan menjamin hak atas pendidikan setiap warga negara.
Sehingga sekolah-sekolah pemerintah dilarang bersikap diskriminatif dengan memprioritaskan peserta didik tertentu dengan berbagai cara.
“Sistem penerimaan yang terus menerus tidak transparan akan menghancurkan sistem pendidikan dan pada akhirnya menghancurkan negara,” tegas Najib mengutip perkataan Dr. Ameenah Gurib Fakim, presiden wanita Mauritius yang sangat konsen terhadap pendidikan warganya.
Al Hassanah berharap pemerintah dan masyarakat tidak terus menerus terjebak pada persoalan yang sama, padahal solusinya ada di depan mata. (*)
Editor: Mohamad S
Publisher: Zainullah FT