Probolinggo,- Infeksi virus Monkeypox atau Mpox (juga dikenal sebagai cacar monyet) menjadi perhatian di banyak belahan dunia, termasuk Asia Tenggara (SEA). Penyakit yang mirip dengan cacar ini disebabkan oleh pox virus yang ditularkan dari hewan ke manusia dan dapat menimbulkan gejala ringan hingga berat.
Mpox dapat menular dari manusia ke manusia dan tidak hanya dari hewan ke manusia. Cepatnya penyebaran Mpox secara global dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti tingginya jumlah orang yang bepergian; perdagangan internasional hewan seperti monyet; munculnya jalur penularan baru dari manusia ke manusia, khususnya melalui hubungan seksual Lelaki Seks Lelaki (LSL).
Lalu, munculnya gejala yang tidak biasa; dan masih minimnya ketersediaan vaksin MPox di negara-negara berisiko tinggi. Lebih dari 90 persen kasus MPox di dunia dilaporkan pada populasi khusus yaitu homoseksual dan biseksual.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), dr. Moh. Adib Khumaidi menyebut, PB IDI melalui Satgas MPox akan terus mengawal perkembangan kasus ini di Indonesia.
“Kami terus bersinergi dengan pemerintah untuk memberikan penanganan terbaik bagi pasien dan masyarakat. Diperlukan upaya berkelanjutan dan kerja sama dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, organisasi layanan kesehatan, dan organisasi internasional agar dapat mengatasi masalah Mpox di Asia Tenggara ini secara efektif,” tulisnya melalui rilis tertulis, 29 Oktober 2023 lalu.
Penanganan kasus ini, juga perlu dilakukan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap penyakit ini, peningkatan akses terhadap pengobatan yang efektif, peningkatan pendanaan untuk penelitian dan upaya pengendalian. “Serta pembentukan respons terkoordinasi yang melibatkan partisipasi semua negara,” ujarnya.
Laporan dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan penyakit Cacar Monyet atau MPox ini sebagai darurat kesehatan masyarakat global pada Juli 2022. Laporan WHO juga menyebutkan ada kekhawatiran bahwa masalah MPox ini agak terabaikan di wilayah Asia Tenggara karena kurangnya akses terhadap fasilitas medis yang memadai.
Ketua Satgas MPox PB IDI, dr. Hanny Nilasari, mengatakan bahwa kurangnya kesadaran masyarakat terhadap penyakit ini adalah salah satu alasan utama diabaikannya Mpox di Asia Tenggara.
Banyak masyarakat yang masih belum mengetahui gejala Mpox dan mungkin tidak tahu cara melindungi diri dari penyakit tersebut. Kurangnya informasi ini dapat menyebabkan keterlambatan dalam mencari pertolongan medis, yang dapat berakibat lebih parah.
Selain itu, sering terjadi kesalahpahaman mengenai penyakit ini,- bahwa Mpox bukanlah penyakit serius atau tidak umum terjadi. Hal ini dapat mengakibatkan kurangnya kepedulian terhadap penyakit ini dan keengganan mengambil tindakan untuk melindungi diri dari infeksi.
“Terlepas dari tantangan-tantangan ini, penting untuk menyadari peran kesadaran masyarakat dalam mengatasi masalah Mpox di Indonesia dan Asia Tenggara. Dengan meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai gejala-gejala penyakit ini, dan mendidik masyarakat tentang cara melindungi diri dari infeksi, kita dapat mengurangi penyebaran penyakit dan meningkatkan hasil bagi mereka yang terinfeksi,” bebernya.
Ia mengingatkan bahwa banyak penderita Mpox memiliki gejala ringan, yang mungkin tidak cukup parah sehingga memerlukan perhatian medis. Hal ini dapat mengakibatkan penyakit ini terabaikan, karena orang mungkin berasumsi bahwa gejalanya tidak serius dan akan sembuh dengan sendirinya.
“Namun kasus Mpox yang ringan sekalipun dapat menular dan menyebabkan penyebaran penyakit, serta berakibat fatal terutama pada pasien dengan imunitas rendah,” cetus dr. Hanny.
PB IDI juga menilai bahwa perlu dikembangkan penelitian lebih lanjut untuk pengendalian Cacar Monyet ini. Banyak pemerintah di kawasan Asia Tenggara yang kurang memperhatikan masalah penelitian.
Hal ini menyulitkan organisasi layanan kesehatan untuk menerapkan langkah-langkah pengendalian yang efektif dan melakukan penelitian yang diperlukan mengenai pengobatan dan vaksin.
“Selain itu, Mpox sering kali mendapat prioritas rendah dari berbagai organisasi dan tidak dipandang sebagai isu prioritas dibandingkan penyakit lain, seperti HIV/AIDS, tuberkulosis, atau malaria,” tutup dr. Hanny. (*)
Editor: Ikhsan Mahnudi
Publisher: Moch. Rochim