Lumajang,- Peringati Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1946, umat Hindu di lereng Gunung Semeru Kabupaten Lumajang, menggelar pawai ogoh-ogoh. Pawai ini mengambil rute dari Pure Mandaragiri Semeru Agung sampai dengan depan balai Desa Senduro.
Sebanyak 15 ogoh-ogoh dengan desain artistik dan dilengkapi pergelaran seni tari sebagai latar tema diarak meriah. Meski gerimis turun, namun tak mengurangi antusiasme warga.
Ketua Pengurus Harian Pura Mandara Giri Semeru Agung Wira Dharma menyapaikan, prosesi arak ogoh – ogoh ini mulai dari Tawur Kesanga pada jam 11.00 WIB, dilanjutkan Muwadaksina hingga tengah malam yang puncak ritual.
“Arakan ogoh-ogoh ini diikuti oleh beberapa Desa yang ada di Kecanatan Senduro. Ada yang dari Desa Burno, Kandangan, Kandang Tepus, Wonocempokoayu, dan beberapa desa lain di Kecamatan Senduro,” kata Wira, Minggu (10/3/24) malam.
Wira menjelaskan, ogoh-ogoh ini adalah sebagai simbol perwujudan Buta Kala. Bhuta Kala merepresentasikan kekuatan (Bhu) alam semesta dan waktu (Kala) yang tak terukur dan tak terbantahkan.
“Dalam perwujudan patung yang dimaksud, Bhuta Kala digambarkan sebagai sosok yang besar dan menakutkan, biasanya dalam wujud raksasa,” imbuh dia.
Ogoh-ogoh berperan sebagai simbol untuk penetralisir kekuatan-kekuatan negatif atau kekuatan Bhuta. Ogoh-ogoh yang dibuat pada perayaan Nyepi adalah perwujudan Bhuta Kala, makhluk besar dan menyeramkan.
“Maka dari itu, dalam kepercayaan kami ini disumiakan (dibakar, red) agar tidak mengganggu umat manusia,” paparnya.
Selama satu tahun sekali, menurut Wira, masyarakat Kecamatan Senduro menyelenggarakan pawai ogoh-ogoh sebagai bentuk apresiasi kepada Seni yang juga menjadi roh pelaksanaan Hari Suci Penyepian.
“Pawai juga melibatkan anak kecil, agar sejak dini sudah ditumbuhkan semangat dan bangga dengan tradisi perayaan Hari Raya Nyepi ini,” Wira memungkasi. (*)
Editor: Mohamad S
Publisher: Moch. Rochim