Probolinggo,- Masyarakat Dusun Bandaran, Desa Jabungsisir, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, sudah tidak asing lagi dengan sumur peninggalan KH. Hasyim Mino atau biasa dipanggil Kyai Mino.
Sebab sumur tersebut menjadi sumber utama pemenuhan air bersih untuk masyarakat desa khususnya kebutuhan air minum.
Kiai Mino merupakan pendiri sekaligus pengasuh pertama Pondok Pesantren Nurul Qodim yang berada di Desa Kalikajar Kulon, Kecamatan Paiton.
Kiai Mino, yang semasa hidupnya pernah nyantri di Pondol Pesantren Zainul Hasan Genggong, membangun sumur tersebut sudah sekitar 72 tahun silam atau pada tahun 1952.
Imron (54), salah satu warga setempat mengatakan, sejak ia masih kecil, sumur tersebut memang sudah ada.
Bahkan, di sekitaran sumur itu, dulunya hanya keluarganya dan 10 keluarga lain yang bermukim di sekitar sumur. Namun, saat ini sudah banyak warga yang bermukim di area tersebut.
“Jadi sebelum ada sumur ini, warga di sini memikul air dari selatan sana, berkilo-kilo jaraknya, agar punya air minum,” kata Imron, Rabu (19/6/24).
Imron menjelaskan, di area tempat tinggalnya itu, jarak antara daratan dengan laut memang sangat dekat, sehingga air yang ada rasanya asin.
Alhasil, warga kesulitan untuk mencari air bersih untuk minum. Kelangkaan air bersih terus terjadi bertahun-tahun, hingga airnya Kiai Mino membuat sumur di lokasi tersebut.
Ajaibnya, air sumur Kiai Mino ini rasanya tawar, tak sama dengan air sumur lainnya di kawah pesisir pantai utara Kabupaten Probolinggo.
Awal mula kesulitan pemenuhan air bersih ini diketahui oleh Kiai Mino, tidak terlepas dari lahan tambak dan pertanian Kiai Mino yang berada di daerah tersebut.
Sehingga, ketika Kiai Mino melihat kondisi masyarakat yang selalu kebingungan mencari air, akhirnya beliau membangun sumur jaraknya pun hanya sekitar 10 meter dari laut.
“Tidak pengaruh meski dekat laut, airnya tawar, bahkan segar. Kadang ada orang luar yang tujuannya ke sini hanya untuk mengambil air sumur ini, berharap mendapatkan berkah dari Kiai Mino,” kenang Imron.
Adanya sumur tawar di tepi pantai ini, membuat sejumlah warga lainnya juga menggali sumur.
Dengan harapan air yang keluar juga memiliki rasa tawar, sama seperti yang dibangun Kiai Mino.
“Banyak sekarang sumur di sini, tapi selain sumur Kiai Mino, rasanya asin semua,” tandas dia.
Dikonfirmasi terpisah, KH. Hafidzul Hakim Noer atau yang akrab disapa Gus Hafidz mengatakan, dulunya di dusun tersebut, Kiai Mino memang memiliki sekitar 60 hektare tambak dan sawah.
Cucu KH. Hasyim Mino ini menambahkan, kakeknya memang membuat sumur itu karena melihat kondisi masyarakat yamg kesulitan mendapatkan air bersih.
“Pesan Kiai Mino, sumur itu hanya dibuat minum. Bukan digunakan untuk mandi apalagi memandikan hewan,” ungkap Non Hafidz. (*)
Editor: Ikhsan Mahmudi
Publisher: Haliza