Probolinggo,- Seiring berkembangnya zaman, teknik batik juga turut berkembang, salah satunya teknik batik printing. Namun, proses batik printing dianggap bukan lagi batik, karena tidak mencerminkan kriteria membatik.
Hal tersebut diungkapkan oleh Dudung Aliesyahba, perajin batik asal Pekalongan, yang juga perintis Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI).
Ia mengungkapkan, membatik merupakan proses kombinasi antara gambar dengan canting tulis atau cap.
Proses itulah yang ditetapkan oleh Unesco pada tahun 2009 sebagai warisan budaya tak benda.
Sehingga di luar hal tersebut merupakan tiruan, seperti printing batik yang hanya sebatas kain tekstil yang diberi motif batik.
“Saya tidak bilang tidak suka dengan printing, tapi jangan mengatakan itu batik, karena prosesnya bukan batik. Tetapi dengan cara printing, bahkan kain tekstil yang diprint dengan motif batik tidak ada bedanya dengan spanduk,” ujar Dudung, Rabu (24/7/24).
Dudung menyebut, saaat pasar batik kain merosot seiring berkembangnya teknologi. Batik yang dihasilkan dari hasil tangan perajin harganya mahal karena prosesnya yang membutuhkan waktu lama.
Berbeda dengan dengan proses printing yang mana menggunakan kain dengan percetakan motif batik. Sehingga harganya pasti kalah saing dan hal inilah yang mengganggu pasar batik.
Kemudian di era moderen saat ini, penggunaan motif batik sesuai kegunaan kian berkurang. Misalnya, motif Sidomukti untuk pernikahan atau pengantin dan motif untuk acara-acara sudah mulai hilang.
“Saya berharap agar batik tetap dipertahankan mulai dari pangsa pasar hingga lainnya, sehingga para perajin batik tidak gulung tikar yang dampaknya pembatik dan hasil karyanya akan berkurang,” paparnya.
Perkembangan teknologi memiliki plus dan minus. Jika berbicara batik dengan munculnya metode printing dengan harga murah, maka jelas batik metode konvensional akan kalah bersaing. (*)
Editor: Ikhsan Mahmudi
Publisher: Moch. Rochim