Menu

Mode Gelap
Tingkatan IPM dan Kesejahteraan, Guru Madrasah se-Kabupaten Probolinggo Sepakat Menangkan Gus Haris – Ra Fahmi Bakal Calon Bupati dan Wakil Bupati Rusdi-Shobih Kunjungi Bawaslu Gudang Kayu Gaharu di Mayangan Terbakar, Segini Kerugiannya Berkat Tanggal Lahir, Belasan Bayi Dapat Kado dari Pemkot Probolinggo Gudang Plastik di Purwosari Pasuruan Terbakar, Warga Panik Sempat Digondol Maling, Sapi Warga Desa Curahtulis Probolinggo Ditemukan di Persawahan

Budaya · 25 Jul 2024 10:35 WIB

Tidak Cerminkan Proses, Batik Printing Bukan Lagi Produk Batik


					PERAJIN BATIK: Dudung Aliesyahba (memakai baju merah) saat melihat produksi batik karya perajin. (foto: Hafiz Rozani). Perbesar

PERAJIN BATIK: Dudung Aliesyahba (memakai baju merah) saat melihat produksi batik karya perajin. (foto: Hafiz Rozani).

Probolinggo,- Seiring berkembangnya zaman, teknik batik juga turut berkembang, salah satunya teknik batik printing. Namun, proses batik printing dianggap bukan lagi batik, karena tidak mencerminkan kriteria membatik.

Hal tersebut diungkapkan oleh Dudung Aliesyahba, perajin batik asal Pekalongan, yang juga perintis Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI).

Ia mengungkapkan, membatik merupakan proses kombinasi antara gambar dengan canting tulis atau cap.

Proses itulah yang ditetapkan oleh Unesco pada tahun 2009 sebagai warisan budaya tak benda.

Sehingga di luar hal tersebut merupakan tiruan, seperti printing batik yang hanya sebatas kain tekstil yang diberi motif batik.

“Saya tidak bilang tidak suka dengan printing, tapi jangan mengatakan itu batik, karena prosesnya bukan batik. Tetapi dengan cara printing, bahkan kain tekstil yang diprint dengan motif batik tidak ada bedanya dengan spanduk,” ujar Dudung, Rabu (24/7/24).

Dudung menyebut, saaat pasar batik kain merosot seiring berkembangnya teknologi. Batik yang dihasilkan dari hasil tangan perajin harganya mahal karena prosesnya yang membutuhkan waktu lama.

Berbeda dengan dengan proses printing yang mana menggunakan kain dengan percetakan motif batik. Sehingga harganya pasti kalah saing dan hal inilah yang mengganggu pasar batik.

Kemudian di era moderen saat ini, penggunaan motif batik sesuai kegunaan kian berkurang. Misalnya, motif Sidomukti untuk pernikahan atau pengantin dan motif untuk acara-acara sudah mulai hilang.

“Saya berharap agar batik tetap dipertahankan mulai dari pangsa pasar hingga lainnya, sehingga para perajin batik tidak gulung tikar yang dampaknya pembatik dan hasil karyanya akan berkurang,” paparnya.

Perkembangan teknologi memiliki plus dan minus. Jika berbicara batik dengan munculnya metode printing dengan harga murah, maka jelas batik metode konvensional akan kalah bersaing. (*)

 

 


Editor: Ikhsan Mahmudi
Publisher: Moch. Rochim


 

Artikel ini telah dibaca 22 kali

badge-check

Reporter

Baca Lainnya

Harga Cengkeh di Lereng Semeru Lumajang Turun, Petani Menjerit

3 September 2024 - 12:16 WIB

Krecek Rebung, Jadi Ikon Kuliner Lumajang

2 September 2024 - 16:03 WIB

Lestarikan Kuliner Tradisional, Lumajang Gelar Sapar Agung

1 September 2024 - 12:58 WIB

Ada Festival Segoro Topeng Kali Wungu di Lumajang, Bikin Pelaku UMKM Sumringah

25 Agustus 2024 - 21:13 WIB

Berantas Mafia Pupuk, Kejari Kabupaten Probolinggo Gandeng LIRA

20 Agustus 2024 - 20:57 WIB

Tari Sodoran di Hari Raya Karo Pukau Wisman

20 Agustus 2024 - 18:26 WIB

Bansos bagi Masyarakat Miskin dan Stunting Ngadat, Pemkab Lumajang; Sabar

20 Agustus 2024 - 17:38 WIB

Hari Raya Karo, Warga Lereng Bromo Gelar Tari Sodoran

20 Agustus 2024 - 17:34 WIB

Ikuti ‘Surabaya Fashion Parade 2024’, Tiga Model Kenalkan Batik Khas Kota Probolinggo

16 Agustus 2024 - 21:24 WIB

Trending di Budaya