Alun-alun Kota Kraksaan yang kalau malam gelap, ini menjadi saksi euforia dukungan untuk cabup cawabup Probolinggo Sae tengah November 2024 lalu. Ia adalah pasangan Gus Haris-Ra Fahmi.
Pukulan, sikutan, tendangan, bantingan di dalam kontestasi itu serasa jadi jajan sehari-hari. Menjadi manufaktur tekad untuk menjadikan Probolinggo Sae (strong, agile, enthusiastic).
Tentu, pukulan, sikutan, tendangan, bantingan – itu dalam makna cuitan di media sosial. Bukan fisik.
Itu sudah berlalu, tiiga bulan lalu. Sekarang kabupaten termiskin keempat di Jawa Timur itu sudah damai, adem. Yang ada hanya harapan besar 80 persen publik kepada calon terpilih; Gus Haris-Ra Fahmi.
Memahami Perjalanan di Tengah Tantangan
Kontestasi memiliki filosofi ujian kenaikan kelas. Bisa naik, bisa pula turun.
Dalam kontestasi perjalanan hidup, seperti halnya perjalanan seorang pelaut, tak selamanya diiringi angin tenang dan ombak lembut. Ada saat di mana badai datang tak terduga. Mengoyak layar dan mengguncang kemudi.
Namun, bukan badai yang menentukan arah perahu itu. Tetapi sesungguhnya tangan yang menggenggam kemudi dan jiwa yang tetap tenang meski langit runtuh.
Pukulan-pukulan hidup datang seperti hujan deras yang tak memberi jeda. Terkadang, mereka datang dari arah yang tak pernah diantisipasi. Kadang pula membuat dada sesak oleh rasa sakit yang tak bernama.
Namun, apakah hidup hanya tentang membalas? Apakah kehidupan layak dijalani hanya dengan terus menyiapkan kepalan tangan untuk menyerang balik?
Inilah makna terdalam dari sebuah kontestasi. Termasuk kontestasi pilkada Probolinggo, dan kontestasi politik lainnya.
Bukan Arena Balas Dendam
Sejatinya, seperti halnya hidup, politik bukanlah arena pertarungan balas dendam. Ia lebih menyerupai perjalanan menuju puncak gunung. Puncak di mana jalan setapaknya sempit, licin, dan penuh tantangan.
Pukulan-pukulan itu, walau menyakitkan, bukanlah musuh. Mereka adalah guru yang datang dengan caranya sendiri. Mengajarkan tentang kekuatan yang terpendam dalam diri.
Seorang bijak pernah berkata, “Ketahanan bukanlah tentang berapa kali kau mampu memukul balik, melainkan seberapa sering kau mampu bangkit setelah jatuh.”
Pukulan dalam politik, meski kadang meninggalkan luka, tapi sesungguhnya ia adalah palu yang menempa logam diri menjadi pedang yang tajam.
Bayangkan sebuah pohon besar yang akarnya menghujam bumi. Pohon itu tak pernah marah ketika badai mengguncang rantingnya.
Ia tak melawan angin yang mencoba merobohkannya. Sebaliknya, ia berdiri kokoh, membiarkan angin melintas, sementara akarnya semakin dalam menyatu dengan tanah.
Pohon itu tahu, bahwa badai hanya sementara, sedangkan keteguhan adalah warisan abadi.
Mengubah Luka Menjadi Cahaya
Luka yang ditinggalkan pukulan-pukulan itu bukanlah tanda kelemahan. Luka adalah simbol perjalanan. Peta yang menunjukkan seberapa jauh langkah telah diayunkan. Dalam setiap luka, tersembunyi kekuatan. Dalam setiap retak, ada celah di mana cahaya masuk.
Hidup tak pernah berjanji akan mudah, tetapi ia selalu menyimpan janji bahwa setiap perjuangan akan melahirkan pertumbuhan. Pukulan yang diterima, meski menyakitkan, adalah langkah-langkah takdir untuk membentuk pribadi yang lebih tangguh.
Ada masa-masa di mana seseorang merasa ingin menyerah, tenggelam dalam rasa kecewa yang menyesakkan. Namun, seperti malam yang kelam sebelum fajar, keindahan seringkali tersembunyi di balik penderitaan.
Matahari tak pernah gagal terbit setelah gelap. Begitu juga jiwa yang gigih. Ia selalu menemukan jalan untuk bersinar, bahkan dalam gelap paling pekat sekalipun.
Keteguhan bukanlah hal yang diberikan, melainkan dipilih. Setiap pukulan yang datang adalah kesempatan untuk memilih: menyerah pada rasa sakit, atau berdiri kokoh dan menyambutnya dengan kepala tegak. Pilihan ini tak mudah, tetapi justru di situlah letak keindahannya.
Seorang pemahat yang berdiri di hadapan sebongkah batu besar. Dengan setiap pukulan pahat, batu itu perlahan berubah. kehilangan bentuk lamanya untuk menjadi karya seni yang tak ternilai.
Hidup melakukan hal yang sama pada manusia. Pukulan-pukulan itu adalah alat pahat, sementara jiwa adalah batu yang perlahan diubah menjadi sesuatu yang jauh lebih indah dari sebelumnya.
Hidup adalah panggung di mana cerita keberanian dan keteguhan ditulis. Setiap luka adalah tinta, setiap pukulan adalah pena, dan setiap bangkit adalah kisah yang akan dikenang.
Maka, biarkan badai datang, biarkan pukulan menghantam, karena dalam setiap hantaman ada kesempatan untuk menjadi lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih hidup.
Ketika akhirnya badai mereda dan langit kembali cerah, jiwa yang telah ditempa akan berdiri dengan kepala tegak. Lalu, berkata pada dunia; “Aku telah melalui semuanya, dan aku masih di sini. Satukan hati, rajut semuanya, gunakan potensi, untuk menuju Probolinggo Sae.” (bersambung)
*Lereng Argopuro, 19 Januari 2025