Lumajang, – Beberapa hari ini, pembahasan terkait penanaman ganja di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), Dusun Pusung Duwur, Desa Argosari, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang mengguncang jagat maya.
Bagaimana tidak, setelah ada penemuan ladang ganja, penggunaan drone di kawasan TNBTS dilarang. Bahkan, jika memaksa pemilik drone yang ingin mengabadikan keindahan alam di kawasan TNBTS dikenakan biaya hingga Rp2 juta.
Berdasarkan informasi yang didapat oleh media ini, secara historis ganja pertama kali ditemukan di China pada tahun 2737 SM. Masyarakat China telah mengenal ganja sejak zaman batu. Secara esensial ganja sendiri yang pasti adalah tumbuhan liar biasa layaknya rumput yang tumbuh di mana saja.
Hanya saja, ganja tidak sembarang tumbuh di tanah. Ganja memerlukan kultur tanah yang berbeda dan cuaca wilayah yang mendukung. Sebutan lain ganja adalah mariyuana, yang berasal dari bahasa Portugis yaitu Mariguango yang berarti barang yang memabukkan.
Bahkan, istilah ganja dipopulerkan oleh kaum Rastafari, kaum penganut sekte Rasta di Jamaika yang berakar dari Yahudi dan Mesir.
Namun, ketika pembahasan soal tanaman ganja yang dilarang tapi tumbuh subur di Lumajang, tentu kalau dikelola dengan baik tidak menutup kemungkinan bisa menutup defisit APBD di setiap kabupaten dan kota yang memiliki ladang ganja. Akan tetapi kalau secara hukum, tanaman ganja dilarang dan merupakan jenis narkotika yang berbahaya.
Eksistensi ganja di Lumajang tentu ada pengaruhnya, tidak mungkin ganja tumbuh subur di Lumajang jika tidak memiliki makna apa-apa. Dan dampak yang merajarela.
Lumajang sendiri, memiliki ladang ganja terbesar ke dua setelah Aceh. Yang tentunya, hasil panennya cukup menggiurkan.
Namun kebisingan soal ganja tak luput dari pantauan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Lumajang, yang meminta TNBTS bertanggung Jawab terkait ladang ganja di kawasan Gunung Semeru.
Ketua DPRD Lumajang Oktafiani mendesak Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BBTNBTS) ikut bertanggung jawab atas adanya 59 ladang ganja di lereng Gunung Semeru. Sebab, TNBTS selaku pemilik kuasa wilayah.
“Yang ditugaskan di wilayah itu berarti itu (TNBTS) harusnya yang paling bertanggung jawab,” kata Okta di Kantor DPRD Lumajang, Kamis (20/3/25).
Okta menyebut, petugas TNBTS yang sudah digaji oleh negara untuk melakukan pengelolaan wilayah hutan Gunung Semeru tidak boleh lepas tangan.
“Karena bagaimana pun mereka menerima gaji dari pemerintah. Iya kenapa sampai terjadi penanaman seluas itu, pola pengawasannya bagaimana,” jelas Okta.
Sementara itu, Polres Lumajang pada Jumat, 21 Maret 2025 melakukan patroli di kawasan TNBTS di Dusun Pusung Duwur, Desa Argosari, Kecamatan Senduro.
Dalam patroli tersebut, pihak Polres Lumajang telah menerjunkan drone untuk memantau beberapa titik lokasi yang sebelumnya sudah ditemukan ladang ganja.
Namun, lagi-lagi Polres Lumajang tidak menemukan lokasi lahan ganja dikawasan TNBTS. Namun, dugaan terus dilontarkan, seolah masih ada lahan yang tidak terurus oleh pemiliknya.
“Berdasarkan pemeriksaan langsung di lapangan, tidak ditemukan narkotika jenis ganja. Diduga tanaman itu sudah tidak terurus dan tertutup semak belukar,” kata Kasat Resnarkoba Polres Lumajang AKP I Gede Putu Wiranata, Minggu (23/3/25).
Diberitakan sebelumnya, Pengadilan Negeri (PN) Lumajang menggelar persidangan kasus ladang ganja di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS).
Dalam persidangan itu, setidaknya jaksa telah menghadirkan tiga orang yakni, Yunus Kepala Resort Senduro, Untung, Polisi Hutan dan Edwy staf kantor Balai Besar TNBTS.
“Sudah ada 59 titik ladang ganja yang sudah ditemukan di kawasan TNBTS di Dusun Pusung Duwur, Desa Argosari, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang,” kata Kepala Bidang Wilayah II Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Decky Hendra, Selasa (18/3/25). (*)
Editor: Ikhsan Mahmudi
Publisher: Keyra