Probolinggo,- Ribuan umat Muslim memadati kawasan Pondok Pesantren Zainul Hasan (PZH) Genggong, di Desa Karangbong, Kecamatan Pajarakan, Kabupaten Probolinggo, Kamis (10/4/2025) pagi.
Kehadiran mereka tidak lain untuk mengikuti haul ke-72 Almarhum Al Arif Billah KH Moh. Hasan bin Syamsudin bin Qoiduddin atau yang dikenal dengan panggilan Kiai Hasan Sepuh.
Pondok pesantren yang berdiri sejak tahun 1839 ini menjadi saksi semangat kebersamaan dan kecintaan umat terhadap sosok Kiai Hasan Sepuh. Banyak teladan dan keistimewaan Kiai Hasan, yang hingga kini masih membekas.
“Beliau bukan hanya guru, tetapi juga pewaris risalah Nabi Muhammad SAW,” kata Dewan Pengasuh PZH Genggong, Gus dr. Mohammad Haris.
Gus Haris menjelaskan, Kia Hasan bukan sekedar tokoh lokal, melainkan ulama besar yang sinarnya menembus batas zaman dan ruang.
Kiai Hasan lahir pada tanggal 27 Rajab 1259 H bertepatan dengan 23 Agustus 1843 di Desa Sentong, Kecamatan Krejengan, Kabupaten Probolinggo.
“Beliau tumbuh dalam suasana penuh spiritualitas. Dikenal sebagai pribadi yang memiliki akhlak sempurna, tawadhu dan daya ingat luar biasa, KH. Moh. Hasan sejak muda sudah menunjukkan tanda-tanda kewalian,” bebernya.
Kiai Hasan, cerita Gus Haris, menuntut ilmu dari para ulama besar di Pasuruan, Bangkalan hingga Mekkah al-Mukarramah. Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Nyai Rowaidah, putri dari KH. Zainal Abidin, pendiri utama Pesantren Genggong.
“Di bawah bimbingan beliau, pesantren berkembang pesat menjadi pusat dakwah, pendidikan dan spiritualitas,” terang dia.
Gus Haris yang kini menjadi Bupati Probolinggo menyebut, banyak kisah karomah Kiai Hasan yang dikenal luas di masyarakat. Salah satunya tentang seorang nelayan yang ditolong dari tengah laut oleh sosok misterius yang kemudian diketahui sebagai Kiai Hasan.
“Kisah ini menjadi salah satu dari banyak cerita nyata yang menunjukkan kedekatan beliau dengan Allah SWT. Namun, KH. Moh. Hasan selalu menekankan bahwa inti dari semua karomah adalah keteguhan akhlak dan ketaatan terhadap ajaran Nabi Muhammad SAW,” ceritanya.
Perintis NU Kraksaan
Kiai Hasan memiliki hubungan erat dengan Nahdlatul Ulama (NU). Ia pernah mendapat perintah langsung dari Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari untuk menjadi Syuriah NU pertama di Kraksaan.
Kecintaannya kepada NU diwujudkan secara nyata, bahkan hingga membangun struktur organisasi di tingkat pesantren.
“Beliau tidak hanya membentuk NU secara fisik, tapi juga secara rohani, menjadikannya sebagai gerakan yang penuh kasih sayang, kebersamaan dan keteguhan dalam prinsip Ahlussunnah wal Jama’ah,” cetus Gus Haris.
Kiai Hasan juga dikenal dengan gaya hidup yang sangat sederhana. Tidak pernah mengambil daun dari pohon tanpa izin, tidak pernah menyakiti siapapun dan selalu berusaha menebarkan kasih sayang kepada seluruh makhluk.
“Salah satu kebiasaan beliau yang menjadi pelajaran berharga adalah pentingnya menjaga kesehatan dengan bangun pagi, tidur cukup dan menghindari begadang. Beliau juga sangat menekankan pentingnya dzikir pagi dan sore sebagai bentuk koneksi rohani yang menjaga stabilitas jiwa dan raga,” imbuh Gus Haris.
Wafat Tanggal 11 Syawal
KH. Moh. Hasan wafat pada malam 11 Syawal 1374 H atau 1 Juni 1955 dalam usia 112 tahun dalam hitungan Masehi. Wafatnya membawa duka mendalam, tidak hanya bagi keluarga namun juga umat islam.
Ribuan orang dari berbagai wilayah datang untuk mengiringi kepergian beliau ke tempat peristirahatan terakhir. Tangisan dan keharuan mewarnai suasana saat jenazah disemayamkan.
“Salah satu kisah menyentuh datang dari KH. Moh. Hasan Saifouridzal, putra beliau yang ketika itu masih muda dan merasa sangat berat menerima amanah besar melanjutkan perjuangan pesantren. Tangis dan pelukannya kepada sang ayah menjadi simbol ikatan batin yang dalam antara guru dan murid, ayah dan anak, ulama dan umat,” tambahnya.
Gus Haris menambahkan bahwa Haul KH. Moh. Hasan bukan hanya ajang mengenang masa lalu, tapi momentum untuk menyambung sanad rohani.
“Di tengah tantangan zaman, pesan-pesannya tetap relevan seperti hidup dalam ilmu, bersandar pada iman dan berkhidmat kepada umat,” ia memungkasi. (*)
Editor: Mohammad S
Publisher: Keyra