Lumajang, – Pembukaan jalur kereta api di Indonesia pada masa kolonial membawa dampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi dan sosial di daerah-daerah yang dilalui.
Menurut Charles H. Cooley dalam penelitian Basundoro, et al. (2015), adanya kereta api mempercepat pertumbuhan suatu pemukiman yang sepi atau desa menjadi kota.
Kemajuan teknologi transportasi kereta api mempengaruhi transformasi bentuk perkotaan melalui perubahan pola konsentrasi tenaga kerja dan produksi.
Dengan adanya kereta api, tenaga kerja dan produksi dapat dipindahkan dengan lebih efisien, sehingga mempercepat pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah yang dilalui.
Sedangkan dampak pembangunan kota di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari peran kereta api. Kereta api membawa perubahan besar pada struktur ekonomi dan sosial masyarakat, serta mempengaruhi pola pembangunan kota.
Hingga saat ini, teknologi transportasi kereta api yang diperkenalkan pada masa Kolonial masih berdampak pada pembangunan kota di Indonesia saat ini.
Oleh karena itu, penting untuk memahami sejarah perkembangan teknologi transportasi dalam memahami bagaimana kota-kota di Indonesia berkembang dan tumbuh menjadi seperti sekarang ini.
Jaringan kereta api pada awalnya dibangun dengan tujuan untuk
mengangkut bahan mentah dari wilayah pedalaman menuju pelabuhan agar lebih efisien. Pembentukan transportasi kereta api ini tentunya mempengaruhi pola perkembangan perkotaan di Afdeeling Lumajang saat itu.
Jalur Kereta Api Klakah-Pasirian merupakan jalur kereta api milik negara Staatsspoorwegen pada wilayah timur Pulau Jawa (Oosterlijnen).
Jalur kereta api Klakah-Pasirian selesai dibangun dan mulai beroperasi sejak 16 Mei 1896 dengan panjang lintasan kereta Api 36 KM dan menggunakan ukuran lebar rel standar yang digunakan di Hindia Belanda yaitu 1.067 mm (Weijerman, 1904, p. 85). Sejak awal pengoperasiannya jalur kereta api Klakah-Pasirian berfungsi sebagai sarana angkutan barang dan penumpang.
Di samping itu, pada jalur kereta api Klakah-Pasirian terdapat sembilan pemberhentian. Stasiun besar yang terdapat di wilayah Afdeeling Lumajang ada tiga yakni, Stasiun Klakah, Stasiun Lumajang (kota), dan Stasiun Pasirian. Halte-halte yang terdapat di wilayah Afdeeling Lumajang meliputi Halte Grobogan, Halte Sukodono, Halte Labruk, Halte Tempeh, Halte Mujur, dan Halte Condro.
Stasiun awal pada lintasan cabang Klakah-Pasirian terletak di Stasiun Klakah (KK) dengan ketinggian +193. Stasiun Klakah termasuk kedalam stasiun kereta api kelas II yang terletak di Distrik Ranulamongan.
Letak stasiun ini berjarak sekitar 15 km dari pusat pemerintahan Afdeeling Lumajang. Sejak masa kolonial stasiun ini memiliki pengaruh penting di wilayah Afdeeling Lumajang, dikarenakan Stasiun Klakah berada dalam jalur utama atau lijn raya serta menjadi jalur persimpangan untuk lintasan cabang menuju ke Pasirian.
Stasiun utama (Stasiun kelas I) yang terdapat di wilayah Afdeeling Lumajang terletak di pusat kota yang bernama Stasiun Lumajang di wilayah distrik Lumajang. Stasiun Lumajang (LM) adalah stasiun kelas I yang berada di wilayah Afdeeling Lumajang dengan ketinggian +51 M diatas permukaan laut.
Stasiun Lumajang menjadi stasiun kelas I yang berarti merupakan stasiun utama atau terbesar pada masanya dan memiliki rasio pengangkutan penumpang dan barang yang tinggi. Stasiun akhir pada jalur cabang Klakah – Pasirian tentunya berada di Stasiun Pasirian.
Stasiun Pasirian (PSR) berada di sisi selatan pusat kota Afdeeling Lumajang. Stasiun Pasirian merupakan stasiun kereta api kelas II yang terletak di distrik Tempeh. Stasiun Pasirian terletak pada ketinggian +155 M. Stasiun Pasirian juga menjadi stasiun yang berpengaruh pada keberlangsungan jalur kereta api Klakah-Pasirian karena sebagai stasiun akhir maka volume barang maupun penumpang yang naik dan turun dari stasiun ini pun tinggi.
Sarana angkutan penumpang dibagi kedalam tiga kelas layanan, layanan kelas I dikhususkan hanya untuk masyarakat Eropa, layanan kelas II dikhususkan untuk orang timur asing, sedangkan masyarakat pribumi biasanya cuma diperkenankan menggunakan kereta kelas III. Angkutan barang yang tersedia di jalur kereta api Klakah-Pasirian terdiri dari gerbong hewan, gerbong barang pesanan, gerbong kargo umum, gerbong untuk mayat, dan gerbong untuk kendaraan pribadi.
Jalur kereta api Klakah-Pasirian dibuka pada 16 Mei 1896 (Weijerman, 1904, p. 85). Data angkutan penumpang yang berhasil ditemukan sejak tahun 1899 menunjukkan bahwa angka penumpang yang menaiki kereta api pada periode awal pembukaannya ialah sebanyak 344 orang (lihat tabel 6). Angka angkutan penumpang dari semua stasiun dan semua layanan kelas yang ditemukan untuk tahun 1903 yaitu berjumlah 166.387 jiwa (Verslag der Staatsspoorwegen in Nederlandsch Indie over het jaar 1903, 1905, p. 340-345).
Untuk tahun 1906 tampaknya terdapat peningkatan dengan jumlah total penumpang sebesar 495.964 jiwa (Verslag der Staatsspoorwegen in Nederlandsch Indie over het jaar 1906, 1907, p. bijlage 16 O/L). Sedangkan untuk angka angkutan penumpang tahun 1908 totalnya kian meningkat pula yang memiliki jumlah sebesar 661.651 jiwa (Verslag der Staatsspoorwegen in Nederlandsch Indie over het jaar 1908, 1909, p. 66c).
Angkutan penumpang pada jalur Klakah-Pasirian tetap tersedia hingga tahun 1940 tepatnya sebelum Staatsspoorwegen diambil alih oleh Jepang. Data angkutan barang dan angkutan pada jalur kereta api Klakah-Pasirian dapat dilihat lebih lanjut pada lampiran.
Lokomotif yang bekerja di jalur Klakah-Pasirian hingga masa pendudukan Jepang menggunakan lokomotif uap di antaranya, lokomotif uap tipe C11/C12, lokomotif uap tipe CC10 dan lokomotif uap tipe F10. Lokomotif uap tipe C11/C12 ditugaskan sebagai lokomotif untuk dinas langsir dan lokomotif penarik kereta penumpang atau barang pada rute jarak pendek dan datar di Pulau Jawa.
Jenis lokomotif C12 ini persis dengan lokomotif seri C11, lokomotif ini diandalkan oleh Staatspoorwegen untuk lintas kereta api di Jawa Timur. Lokomotif C11 memiliki kecepatan maksimal 45 km/jam. Tenaga yang dihasilkan lokomotif C11 ini sebesar 286 HP (Horsepower8).
Sedangkan, lokomotif C12 dapat melaju hingga kecepatan 45-50 km/jam dan memiliki daya 350 (horsepower) dengan menggunakan bahan bakar utama kayu jati (Prayogo, 2017, p. 59). Lokomotif uap tipe CC10, pada catatan Oegema (1982) pada 23 Februari 1950 CC10 juga sempat berdinas menarik KA lokal di Klakah – Lumajang.
Lokomotif CC10 menggunakan bahan bakar kayu jati, batu bara dan minyak residu. Dengan sistem penggerak roda 2-6-6-0T, CC10 memiliki silinder depan 520x510mm dan dimensi silinder belakang 340x510mm dengan kecepatan maksimal 50 km atau jam (Prayogo, 2017, pp. 112-113).
Lokomotif ini menjadi andalan untuk menarik KA penumpang maupun barang di jalur-jalur pegunungan (Prayogo, 2017, pp. 112-113). Di akhir era lokomotif uap di Hindia Belanda, lokomotif uap yang beroperasi di wilayah Afdeeling Lumajang adalah lokomotif tipe F10.
Lokomotif F10 menggunakan bahan bakar kayu jati atau batu bara Lokomotif tipe F10 masih banyak beroperasi di daerah Jawa Timur seperti Malang-Blitar dan Jember-Klakah-Lumajang sebagai lokomotif penarik KA lokal dan campuran penumpang serta barang Lokomotif uap tipe F10 memiliki susunan roda 2-12-2T, berat 78,7 ton, panjang 13.980mm, daya 910 HP (horsepower) dan kecepatan maksimum 70 km/jam(Prayogo, 2017, pp. 108-109).
Data tarif angkutan barang komoditas ekspor tembakau yang berhasil ditemukan tertulis untuk 1923. Data tersebut menyebutkan bahwa tarif yang dipatok untuk angkutan komoditas ekspor berupa tembakau pada jalur Klakah-Pasirian ialah sebesar f 0,29 per 100 KG (Reitsma, 1927, pp. 408-409). Data tarif kereta api penumpang rute Klakah-Pasirian yang pertama ditemukan tertulis untuk tahun 1901.
Tarif kereta api Klakah-Pasirian pada tahun 1901 memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Untuk penumpang kelas 1 harga tiket dipatok sebesar f 2,25, sedangkan untuk kelas 2 sebesar f 1,50 dan kelas 3 sebesar f 0,54. Bagasi penumpang sendiri memiliki tarif khusus yaitu sebesar 11 cent per 10 KG (Velde, 1901, p. 47). (*)
Editor: Ikhsan Mahmudi
Publisher: Keyra