Batik ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) oleh Unesco pada 2 Oktober 2009 silam. Sejak saat itu, batik kian mengakar sebagai identitas bangsa, terutama di Pulau Jawa. Bagaimana kiprahnya di Kabupaten Probolinggo?
Moh. Ahsan Faradies – Probolinggo
KRAKSAAN,- Batik merupakan warisan nenek moyang Indonesia (Jawa) yang sampai saat ini masih lestari. Batik pertama kali diperkenalkan kepada dunia oleh Presiden Soeharto, saat menghadiri Konferensi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dengan memakai batik, era 80-an.
Di Kabupaten Probolinggo, awal mula perkembangan batik diyakini sudah ada sejak zaman kolonil Belanda. Jejak sejarah itu terekam dalam pameran khusus Batik Probolinggo di Amsterdam Belanda pada 1883, dengan total 150 motif.
Seiring berjalannya waktu, karya seni tradisional ini mengalami pasang surut, sebelum akhirnya kembali menggeliat selepas era 2000-an. Memasuki era modern, pebatik di Kabupaten Probolinggo mengembangkan batik dengan ciri khas dan keunikan berbeda.
Saat ini ada 13 pembatik yang terdaftar dalam Asosiasi Pengrajin Batik, Bordir dan Assesoris (APBBA) Kabupaten Probolinggo. Salah satunya yang paling menonjol, Batik Ronggo Mukti milik pasangan suami istri (Pasutri), Mahrus Ali (42) dan Eva Purnamasari (37).
Usaha batik warga Kelurahan Sidomukti, Kecamatan Kraksaan ini dimulai sejak 2015 silam. Nama Ronggo Mukti diambil berdasarkan nama tokoh pewayangan yang menjadi legenda masyarakat Kabupaten Probolinggo.
“Kami memiliki 34 karyawan yang mayoritas dari masyarakat sekitar, ada juga karyawan dari wilayah lain seperti dari Kecamatan Krejengan, tapi jumlahnya tidak seberapa,” kata Mahrus Ali saat ditemui di kediamannya, Kamis (26/11/2020).
Keunggulan Batik Ronggo Mukti, selain corak dan karakternya yang khas, adalah bahan pewarna yang sintetis. Usaha ini terus menggeliat setelah digandeng PT. PJB (Pembangkit Jawa Bali) Paiton melalui program Corporate Social Responsibility (CSR).
“Dengan kerjasama itu, kami kembangkan sehingga terbuat batik dari pewarna alami dan mengahasilkan warna yang lebih cerah. Hal inilah yang membuat batik kami banyak diminati warga luar daerah,” papar Mahrus.
Kerjasama PT. PJB Paiton itu, mendongkrak omset penjualan Batik Ronggo Mukti hingga kisaran Rp 72 juta dalam satu bulan. “Usaha kami berkembang lebih cepat, sehingga cepat dikenal dan banyak dipesan oleh warga luar daerah,” terang Mahrus.
“Harga batik dengan pewarna sintetis sebesar Rp 125 ribu sampai Rp1,5 juta. Sedangkan batik dengan batik pewarna alami, harganya Rp 600 ribu sampai Rp 2,5 juta. Sebelum dan selama pandami, harga sama,” urai Mahrus.
Batik dengan pewarna alami lebih mahal dibandingkan batik pewarna sintetis, karena proses produksinya memakan waktu lebih lama meski bahan pewarna lebih mudah didapatkan. Bahan-bahan itu meliputi daun mangga, kulit kayu muda, dan sebagainya.
Terdampak Pandemi
Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang juga melanda Kabupaten Probolinggo, membuat para pelaku usaha kelabakan, tak terkecuali Batik Ronggo Mukti. Omset penjualan yang awalnya puluhan juta, merosot sampai Rp 18 juta per bulan.
Konsumen lokal atau warga Kabupaten Probolinggo, lenyap selama pandemi. Beberapa konsumen yang masih ‘order’, kebanyakan dari luar daerah, seperti Surabaya, Sidoarjo, Solo, Tanggerang hingga Banjarmasin.
“Pembeli lokal menurun, padahal sebelum pandemi pemesan batik lebih dominan dari warga lokal. Kalau dari luar daerah, itu ya dari Nusa Tenggara Timur (NTT), Palangkaraya, Bandung dan Jakarta,” Mahrus menjelaskan.
Rata-rata konsumen dari luar daerah lebih memilih memesan batik dengan pewarna alami. Pertimbangannya, selain warna lebih cerah, mereka juga terpikat motif yang lebih variatif jika dibandingkan dengan batik yang menggunakan pewarna sintetis.
“Batik dengan pewarna alami jauh lebih diminati dari kalangan menengah ke atas dan semua pemesanannya itu dari luar daerah. Karena selain warna yang cerah juga ada motif limited edition yang jauh lebih fresh,” tandasnya.
Produksi Masker Batik
Meski omset anjok, Mahrus dan istrinya tetap membuka usaha seperti biasanya. Tidak satupun karyawan diliburkan, apalagi dirumahkan. Sebaliknya, mereka kian termotivasi membuat corak dan motif baru agar batik tetap diburu saat pandemi.
Salah satu kreatifitas Batik Ronggo Mukti menghadapi pandemi Covid-19 adalah dengan memproduksi masker batik. Gayung pun bersambut saat Bupati Probolinggo, Puput Tantriana Sari menyerukan program pemakaian sejuta masker kain di wilayahnya.
Di satu sisi, PT. PJB Paiton terus menopang industri rumahan ini melalui berbagai bantuan program CSR. Perlahan, Batik Ronggo Mukti berhasil bangkit dari keterpurukan lesunya ekonomi global, akibat wabah virus korona.
“Alhamdulillah sampai Juli, penjualan masker batik mencapai Rp 22 juta. Ada 60 ribu masker pesanan dari berbagai daerah, mulai dari Jakarta, Banyuwangi dan beberapa daerah lain serta dari Pemerintah Kabupaten Probolinggo sendiri,” pungkas Mahrus. (Adv)
Editor : Efendi Muhammad
Publisher : A. Zainullah FT