SURABAYA,- Media massa digital atau dalam jaringan sudah harus mulai meninggalkan pola pikir konservatif dan konvensional. Masyarakat tak hanya butuh berita keras (hard news), tapi juga informasi keseharian.
Hal ini dikemukakan Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wenseslaus Manggut, dalam Seminar Nasional ‘Smart City, Creative Government: Membangun Ekosistem Digital CETTAR Bagi Pembangunan Provinsi Jawa Timur’, yang digelar secara luring dan daring oleh AMSI Jatim, Jumat (11/6/2021).
“Informasi tidak harus selalu politik ekonomi atau hard news lainnya. Publik membutuhkan konten sosial berisi informasi tentang kira-kira mana tempat makanan di kota kita yang tertib prokesnya, bagaimana prokes jaga jarak di pusat belanja, tempat kongko paling sehat, list tukang sate, list tukang cukur, dan lain-lain,” kata Wens.
Wens mengatakan, informasi-informasi seperti itu jarang masuk di media-media digital di Indonesia karena pola pikir pengelola media masih konservatif, yakni pemberitaan keras. “Kedua, tak terbayang di pikiran kita bahwa informasi seperti ini bisa dijual,” tegasnya.
Media massa digital dan daring juga bisa memberikan perhatian pada kegiatan amal. Media bisa mengampanyeken kegiatan sosial yang mengajak masyarakat beramal. “Kita bisa bekerjasama dengan Dinas Sosial, brand yang punya CSR (Corporate Social Responsibility),” Wens menjelaskan.
Media massa digital dan daring, dikatakan Wens, juga perlu membuat semacam komunitas anti-hoaks dan anti-ujaran kebencian dengan melibatkan banyak pihak.
“Saat ini banyak BUMN dan perusahaan yang ingin dicitrakan ikut dalam kamnpanye anti hate speech dan anti hoax,” tutur Wens.
Media yang menjadi anggota AMSI perlu melakukan kolaborasi dengan Dinas Usaha Mikro Kecil Menengah dan Koperasi untuk ikut mengangkat bisnis UMKM dan membuka jalan bagi user untuk beli.
“Ini penting, karena saat ini semua orang berjualan pakai teknologi digital. Kita media digital yang setiap saat dikunjungi karena orang ingin update informasi,” beber dia.
Keinginan ini bisa dijawab oleh media massa digital. Dalam hal turisme, media massa digital dan daring bisa berkolaborasi dalam hal kunjungan destinasi wisata, perhotelan, konten, tiket, dan pemesanan tempat.
“Kita belum terbiasa bahwa beli jual beli tiket pariwisata bisa di media massa, karena media massa terbiasa menulis wisata tanpa ada tindak lanjut untuk masuk ke bisnisnya,” papar Wens.
Ia menambahkan, media massa juga perlu menampilkan semacam agenda kota, seperti jadwal pameran, seminar, peluncuran produk atau program sesuatu, dan mengarahkan pembaca untuk berpartisipasi.
“Ini paling mudah dibikin. Misalkan konser musik tanggal sekian, webinar tanggal sekian. Itu bisa diklik di website kita. Jadi orang mau tahu apa yang terjadi di kota itu dalam sebulan ke depan, datang ke tempat kita,” urainya.
Media massa disarankan berkolaborasi dengan pemerintah daerah untuk agenda kota ini. “Pemda punya kepentingan ke publik untuk agenda-agenda seperti ini. Jadi apa yang terjadi di kota kita semestinya ada di website kita,” tandas Wens.
Selain itu, untuk aspek edukasi, media massa juga perlu menampilkan informasi dan agenda mengenai kampus. “Kunci kekuatan kita adalah kira punya pembaca. Orang datang setiap saat ke media kita. Ada konsumen lain, pebisnis, government yang sebetulnya bisa kita ajak kolaborasi. karena kita adalah panggung orang yang bisa datang setiap saat,” tandasnya. (*)
Editor: Efendi Muhammad
Publisher: Albafillah