Lumajang,- Pabrik Pupuk Petroganik milik PT. Giri Sawamas Bali, terlibat konflik dengan warga di 3 desa. Warga menilai, pabrik yang mengelola kotoran hewan ternak menjadi bahan pupuk organik itu menjadi biang polusi dan pencemaran udara.
Tiga desa yang mengeluhkan operasional pabrik meliputi Desa Karanganom, Kecamatan Pasrujambe; Desa Purworejo, Kecamatan Senduro; dan Desa Sentul, Kecamatan Sumbersuko.
Tidak sekedar menolak, warga 3 desa juga sudah beberapa kali melaporkan pencemaran udara di lingkungannya ke pihak desa, kecamatan, bahkan dinas terkait.
Menanggapi hal itu, Camat Pasrujambe Muhammad Saiful mengaku, pihaknya sejauh ini dalam posisi netral. Artinya, tidak sepenuhnya mendukung pabrik maupun warga.
“Kita tidak seratus persen membela pabrik, dan juga tidak seratus persen membela masyarakat, kita tetap diposisi tengah,” kata Saiful saat dikonfirmasi, Kamis (28/11/24) lalu.
Menurut Syaiful, tuntutan masyarakat agar pabrik ditutup, cukup sulit karena ada mekanisme dan tahapan yang harus dilalui. Bahkan, meski warga menggelar aksi unjuk rasa.
“Kalau pun mau demo, ya monggo demo, tetapi harus ada izinnya, jangan anarkis. Meskipun di demo, tidak serta merta pabrik langsung ditutup, sebab pabrik tersebut izinnya lengkap, berdirinya juga sudah lama,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, pabrik tersebut sempat vakum selama dua tahun, karena terdampak virus Covid-19. Karena ditutup, otomatis subsidi dari pemerintah dihentikan.
“Ada kemungkinan, jika dulu pasca Covid-19 tidak dihentikan, mungkin subsidinya tetap jalan,” ungkapnya.
“Saya yakin kalau ini sudah lancar, mungkin konvensasi kepada warga juga lancar. Saat ini warga memang tidak ada konvensasi sama sekali, itu dikarenakan perusahaan mulai dari awal lagi,” bebernya.
Diberitakan sebelumnya, Kepala Desa (Kades) Karanganom Fathur Rozi menyebut, warganya amat terganggu dengan polusi udara yang disebabkan pabrik. Bau udara tercium kuat sekali, terutama saat pagi dan sore hari.
“Kita pernah undan PTSP DLH Diskopindag, Pertanian, Kecamatan, Polsek, Koramil dan kemudian dari pihak pabrik. Namun tidak ada solusi, DLH katanya masih butuh tinjauan produksi lebih lanjut,” terang Rozi.
“Saya pribadi sudah menyampaikan ke DLH, masyarakat saya juga pernah ke DLH, dan jawabannya ya tetap sama, DLH tidak bisa mengambil keputusan karena belum ada pembuktian secara ril,” keluhnya.
Selain pemerintah desa, lembaga pendidikan di desanya juga sudah melaporkan pencemaran pabrik, baik ke DLH hingga Komisi B DPRD Kabupaten Lumajang.
“Artinya ini masyarakat sudah benar-benar mengeluh, terus terang sangat mengganggu,” tegas dia.
Jika memang DLH Kabupaten Lumajang tidak punya anggaran untuk uji lab pencemaran lingkungan, pihaknya siap swadaya dengan masyarakat yang terdampak.
“Kami siap jika memang DLH tidak punya biaya atau tidak punya alat lab dan harus nyewa ke pihak swasta, masyarakat di 3 kecamatan siap swadaya,” tantangnya. (*)
Editor: Mohamad S
Publisher: Keyra