Lumajang, – Transportasi adalah salah satu indikator moderenisasi pada kota-kota di masa kolonial Belanda. Salah satu yang menjadi kota kolonial Belanda adalah dengan dibangunnya jaringan transportasi modern yang digunakan untuk pengangkutan hasil tanam maupun angkatan penumpang.
Kabupaten Lumajang merupakan salah satu kota kolonial Belanda yang berkembang jauh dari pusat pemerintahan Jawa Timur di Surabaya. Lumajang sendiri dapat dikatakan sebagai kota kolonial Belanda modern karena terdapat jaringan transportasi kereta api.
Berdasarkan informasi yang didapat, Lumajang adalah nama sebuah distrik sekaligus Afdeelling yang berada di wilayah Karesidenan Probolinggo bagian selatan.
Afdeelling Lumajang termasuk ke dalam sebuah kota dengan konsep kota tradisional Jawa, yang ditandai dengan Alun – alun sebagai pusat kota (Basundoro, 2012, p, 34). Basundoro (2012, p.36) menjelaskan bahwa salah satu ciri paling menonjol dari kota – kota tradisional, terutama di Jawa dengan keberadaan kraton, masjid, alun-alun, pasar, dan tembok atau pagar keliling (benteng).
Pada tataran budaya, kata tradisional ditandai, antara lain, dengan penggunaan teknologi yang masih sederhana, penggunaan ilmu pengetahuan yang terbatas, serta sistem produksi yang masih didominasi oleh tenaga manusia dan tenaga hewan.
Suatu kota tradisional dapat berkembang menjadi kota modern jika wilayah tersebut memenuhi beberapa syarat tertentu. Horton dan Hunt (Basundoro, 2012, pp. 17-18) menjelaskan, bahwa paling tidak ada tiga syarat yang harus dipenuhi agar sebuah daerah bisa berkembang menjadi kota. Pertama, tersedianya air.
Air merupakan kebutuhan pokok manusia yang diperlukan untuk minum, mandi, mencuci, dan sebagainya. Tanpa air manusia sulit untuk hidup. Kedua, terjadinya surplus pangan.
Kota-kota selalu muncul di daerah yang subur karena dengan kesuburannya ini akan terjadi suplus pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan warga kotanya. Daerah yang tidak memenuhi persyaratan ini tidak akan bisa berkembang dan bertahan sebagai sebuah kota. Ketiga, tersedianya infrastruktur transportasi.
Di samping itu, ada beberapa faktor pendorong dalam perkembangan dan kemajuan transportasi di wilayah Afdeeling Lumajang yang didukung oleh kebijakan umum pemerintah kolonial dalam mengelola angkutan komoditas barang dan angkutan manusia.
Perkembangan transportasi berpengaruh terhadap semakin cepatnya perpindahan manusia dan barang di kota. Sarana transportasi yang menghubungkan wilayah pedalaman dan pelabuhan di Jawa mengalami perkembangan signifikan pada periode liberalisasi dengan dibangunnya jalur kereta api di Jawa (Staatsblad van Nederlansch Indie No. 141 Tahun 1875) (Anwari, 2017, p. 215).
Hal ini menyebabkan semakin lancarnya hubungan perekonomian antara kota-kota pelabuhan dengan wilayah pedalaman. Hasil-hasil bumi dari hinterland (pedalaman) dengan mudah diangkut ke pelabuhan. Selain itu, juga memudahkan pengangkutan alat-alat berat maupun mesin yang digunakan untuk mengolah produksi pertanian dari pelabuhan ke pedalaman (Anwari, 2017, p. 215).
Pembangunan jalur kereta api di wilayah Afdeeling Lumajang diprakarsai oleh Staatsspoorwegen. Staatsspoorwegen yang memiliki nama lengkap Staatsspoor en Tramwegen in Nederlandsch–Indie merupakan perusahaan jalur kereta api negara dan jalur trem di Hindia Belanda.
Perusahaan ini sepenuhnya dimiliki oleh Pemerintah Hindia Belanda. Jalur kereta api Klakah-Pasirian merupakan jalur kereta api milik negara Staatsspoorwegen pada wilayah timur Pulau Jawa (Oosterlijnen). Jalur kereta api Klakah-Pasirian mulai beroperasi sejak 16 Mei 1896 dengan panjang lintasan kereta
Api 36 Km dan menggunakan ukuran lebar rel standar yang digunakan di Hindia Belanda yaitu 1.067 mm (Weijerman, 1904, p. 85).
Sejak awal pengoperasiannya jalur kereta api Klakah-Pasirian berfungsi sebagai sarana angkutan barang dan penumpang. Terdapat sembilan pemberhentian stasiun dan halte pada jalur kereta api Klakah-Pasirian yakni, terdiri dari Stasiun Klakah, Halte Grobogan, Halte Sukodono, Stasiun Lumajang, Halte Labruk, Halte Tempeh, Halte Mujur, Halte Condro, Stasiun Pasirian. Jalur kereta api menuju ke Pasirian merupakan jalur kereta api lintas cabang dari jalur utama Probolinggo-Jember-Panarukan(Oosterlijnen).
Pembangunan jalur kereta api di wilayah timur pulau Jawa (Oosterlijnen) bertujuan agar hasil tanam yang bernilai ekspor di wilayah timur Pulau Jawa dapat segera dikirim melalui pelabuhan terdekat yakni, Panarukan dan Probolinggo. Dibangunnya jalur kereta api pada wilayah Afdeeling Lumajang bertujuan agar proses pengiriman dan pendistribusian hasil tanam di wilayah pedalaman Lumajang menuju ke pabrik, pasar, pelabuhan dan stasiun yang lebih besar dapat terlaksana lebih cepat.
Jalur yang dipilih dimulai dari Randuagung namun pada tahun 1894 terjadi perubahan titik simpangan kereta api yang awalnya ditetapkan di Halte Randuagung kemudian dipindahkan di Stasiun Klakah sehingga rute yang ditetapkan menjadi Klakah-Pasirian (Majalah De Ingenieur Orgaan, 1894 No. 31, p. 378).
Rute Klakah-Pasirian dipilih karena wilayah yang dilewati termasuk sebagai daerah padat penduduk dan tergolong ke dalam daerah subur yang banyak menghasilkan tanaman komoditas ekspor serta banyak tersebar pabrik-pabrik pengolahan hasil tanam milik pemerintah dan swasta.
Sebelum adanya alat angkut kereta api proses pengangkutan hasil tanam di Afdeeling Lumajang hanya mengandalkan alat transportasi gerobak bertenaga manusia dan hewan. Biaya pada awal pelaksanaan pembangunan jalur kereta api Probolinggo-Jember-Panarukan dengan jalur samping menuju ke Pasirian yang tertera pada Staatblad tahun 1893 No. 214 ialah berjumlah f 1.650.000.
Pembangunan dan rekonstruksi pada bangunan dan jembatan kereta api di jalur Klakah-Pasirian terus dilakukan karena sering terjadi kerusakan akibat bencana alam banjir lahar dingin dari Gunung Semeru.
Lokomotif yang bekerja di jalur Klakah-Pasirian hingga masa pendudukan Jepang menggunakan lokomotif uap di antaranya, lokomotif uap tipe C11/C12, lokomotif uap tipe CC10, dan lokomotif uap tipe F10 (Prayogo, 2017, pp. 59, 112-113).
Perkeretaapian negara Staatsspoorwegen kemudian berpindah tangan pada tahun 1942, tepatnya setelah Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada 8 Maret 1942.
Jepang berhasil menguasai Batavia dan seluruh Pulau Jawa, seluruh aset milik Belanda kemudian berpindah tangan kepada Jepang termasuk aset perkeretaapian. Staatsspoorwegen kemudian berpindah tangan ke Jepang dan berganti nama menjadi Rikuyu Sokyoku (Dinas Kereta Api). (*)
Editor: Ikhsan Mahmudi
Publisher: Keyra